"Sebenernya gue ngerasa asing." Rasha melakukan terapi pernapasan seraya terus mengelap meja makan Resto Klutuk. "Kayak ... lo bayangin deh. Kecuali Aksa, orang-orang yang semalem kan baru kenal sama gue, tapi mereka sampai ngelakuin sejauh itu demi tulisan gue ... kaget dong. Terlalu sulit buat dipercaya enggak sih, Win?"
Lantaran tengah berkonsentrasi mengecek pembukuan terakhir sebelum restoran buka, Winda menyahut tanpa menoleh. "Gue juga kalau jadi lo bakal kaget, tapi kata gue sih memang mereka beneran 'kerja' dan mau bantuin Aksa yang sebetulnya korban juga di sini. Ngerti enggak, Ra, maksud gue?"
"Wujud nyata dedikasi, itu yang mau lo bilang?"
"Iya itu."
Sebelah alis Rasha naik dan tangannya berhenti menggosok kain lap. Tiba-tiba saja ia teringat air muka Aksa ketika menyantap Nasi Goreng Bingsoo sambil bercerita antusias. Terlepas dari pembawaannya yang berubah drastis setelah sembilan tahun, cowok itu jelas seorang pekerja ker Rasha tidak pernah ingin berlagak tak mengakui upaya seseorang dan ia mengerti—mungkin lebih dari orang-orang lain—bahwa konsep Literasi Lestari mustahil diciptakan tanpa renjana.
"Ya ... lo bener sih," ujar Rasha mengulum bibir.
"Lagian, memang seharusnya mereka turun tangan. Justru yang diem aja yang salah."
"Karena kebiasa lihat orang salah tetep diem, makanya gue sekaget ini, Win. Enggak pernah gue mikir bakal dapet bantuan sebesar sekarang."
"Padahal lo udah siap-siap banget ya, kalau misal harus perang sendirian. Gue bagian nonton deh ... atau yang angkat-angkat papan kayak kemarin."
Sembari menengok jam dinding, Winda terkekeh mendapati Rasha membentuk pistol dari jemarinya dan menembak ke semua arah. Dia lantas beranjak, membereskan pekerjaannya, lalu mengambil laptop dari tas. Hanya dengan satu isyarat, Rasha mengangguk mengerti. Ia menata kembali meja-meja yang sudah selesai dibersihkan sebelum menyusul langkah Winda. Sambil duduk berimpitan di belakang meja kasir, keduanya menatap satu sama lain dan mengaktifkan laptop bersama napas yang tertahan sejenak.
"Lo siap, Ra?"
Rasha terdiam, kembali mengingat masa ketika pertama kali mengetahui informasi kompetisi. Suara Winda yang kegirangan menelepon, semangatnya yang menggebu saat mencari kumpulan ide cerita menarik, setiap proses mengikuti agenda perlombaan. Pertemuan dengan Aksa dan perjalanan menyelesaikan kisah si Bungsu, juga halaman web Literasi Lestari yang melenyapkan petualangan anak-anak fiksi Rasha di Dunia Tengah.
Lalu, malam kemarin, tatkala Marthina meminta setiap dari mereka untuk mencoba mengumpulkan semut sebanyak mungkin.
"Berpikir cerdas, temen-temen," katanya seraya tersenyum lebar. "Sebelum nyoba cara lain, menurut gue bakalan lebih baik kalau kita manfaatkan poin yang udah kita tahu."
"Gimana, Kak? Poin apa tadi?" tanya Shilla saat itu, sedikit patah-patah. Rasha menyadari bagaimana dia kesulitan mengalihkan pandangan darinya, seakan berusaha membagi waktu antara menyimak konversasi dan mengamati yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa Aksara
BeletriePagelaran Bulan Bahasa terbesar tahun ini, Literasi Lestari, telah resmi dibuka! Ratusan peserta dari penjuru negeri bersaing untuk memperoleh posisi pertama dan memperebutkan hadiah utama. Masalahnya, kompetisi bergengsi itu malah jadi medan tempur...