Sudah hampir lebih dari sepuluh menit sejak gilirannya bicara dan Lino masih belum kunjung menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Aksa menunduk, sibuk mencubit setiap ujung kuku selagi otaknya terus bekerja keras. Kemudian di sisi kanan dan kirinya, Shilla bertukar pandang dengan Marthina—mungkin berusaha telepati untuk mengundi siapa yang harus memanggil Aksa, sebab mereka berulang kali melirik sambil diam-diam mencoba bicara padanya.
"Artinya, sesuai dugaan gua, Biro Hukum kagak bisa diandelin ... dan, gua langsung coba ngelobi anak IT walaupun Aksa sempat ngomong kalau bocah-bocah itu udah kagak bisa dipegang. Gua bilang, 'cuy, ada rame-rame apa sih event bulan ini' gitu. Pikir gua kan mungkin beda yah kalau gua yang iseng tanya—karena di luar panitia Literasi Lestari—dan ternyata bener. Mereka agak takut-takut ragu, tapi tetep jawab. Gimana sih bahasanya tadi?" pikir Lino sejenak sebelum lantas menuding Aksa dengan mata menyipit. "Menurut mereka, semua berdasarkan arahan panitia."
Dengus singkat lolos dari Aksa seiring sudut bibirnya naik sebelah. Ia mengucapkan terima kasih yang cuma ditanggapi dengan anggukan santai oleh Lino, kemudian melirik ke kanan dan kiri, meski wajahnya tetap mengarah pada kulit jemari nan sudah hampir sobek. "Kenapa, Shil? Kak Ina juga kenapa?"
Keduanya lagi-lagi bertukar pandang, sampai Shilla menghela napas menyerah. "Sa, gue tuh jujur khawatir sama lo."
"Tiba-tiba banget. Ngapain?"
"Ya ... habisnya, lo jadi lebih banyak diem," ujar Shilla, kelihatan agak sewot. "Terus, gue juga denger orang-orang ngebahas masalah lo sama anaknya Pak Wirya Duma di kafetaria kemarin itu."
"Kenapa katanya?"
"Lo ... dibilang ketemu sama dia gara-gara masalah Literasi Lestari."
Aksa mengangguk paham. "Dikira gue ada main belakang dan gue yang bantu menangin Anggi, kan?"
"Tapi, gue juga denger rumor lain loh." Mendadak Marthina menimpali. "Terus terang gue sama kayak Shilla, agak keder dikit lihat lo dan ada khawatirnya. Apalagi kita baru kali ini ada kesempatan ngobrol kan, jadi gue rada-rada takut canggung aja kalau baru join udah ngomongin gosip ke lo."
"Santai aja, Kak. Udah biasa denger gosip dari lambe turahnya langsung." Untuk sesaat, Aksa terdiam kendati Lino protes disebut biang gosip. "Tapi sebenernya, gue justru harus terima kasih ke lo, Kak. Gue salah karena anggap remeh omongan Bang Lino tentang nama pendaftar itu. Coba aja gue langsung cari tahu kenapa nama peserta bisa bocor, mungkin enggak akan kayak sekarang keadaannya."
"Tolong dong, Sa ... jangan malah nyalahin diri sendiri."
"Bukan nyalahin diri sendiri." Mata Aksa beralih dari Marthina, memperhatikan lawan bicaranya satu-satu seraya bergeleng. "Lebih ke ... kaget sih, dan ngerasa seharusnya yang kayak gini bisa dihindari."
Kalau saja, Aksa lebih berani.
Coba saja Aksa berani menginterogasi diri sendiri untuk tetap waspada. Coba kalau ia berani bersikap curiga, juga penuh pertimbangan. Andaikan Aksa lebih peka dengan sekitarnya dan mempertanyakan banyak hal sampai semua benar-benar sudah pasti dalam keadaan yang tepat, atau seandainya ia tidak cepat puas hanya karena Jejak Pena Buana berlangsung lancar pada hari pertama, atau mungkin ia justru perlu menyadarkan diri agar tidak terdistraksi oleh eksistensi Bunglon yang mencolok di tengah antrean pengunjung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa Aksara
Fiction généralePagelaran Bulan Bahasa terbesar tahun ini, Literasi Lestari, telah resmi dibuka! Ratusan peserta dari penjuru negeri bersaing untuk memperoleh posisi pertama dan memperebutkan hadiah utama. Masalahnya, kompetisi bergengsi itu malah jadi medan tempur...