Bagian 4: Kucing dan Laba-laba Pelikan

12 3 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Jadi, kenapa harus ini?"

Di tengah rapat evaluasi besar-besaran dua bulan sebelum pergantian tahun, Aksa ditodong Ridha Utami, komisaris Pena Buana, dengan kalimat tanya sederhana yang berhasil membuatnya menelan ludah.

Saat itu, Aksa baru setahun menjadi penyunting di Pena Buana dan ditempatkan sebagai editor akuisisi oleh Personalia setelah masa percobaan karyawan selesai. Mereka juga baru saja mengadakan wrap up party atas keberhasilan perayaan ulang tahun Pena Buana ke-24. Dihadapkan langsung dengan komisaris dalam sebuah persamuhan dan disaksikan sebagian besar pegawai senior jelas bukan sesuatu yang mudah bagi karyawan bau kencur seperti Aksa. Ditambah, entah bagaimana ia berakhir menjadi perwakilan pendatang baru untuk mempresentasikan pengajuan program persiapan ulang tahun perak perusahaan.

Setelah susah payah melakukan terapi pernapasan dan sekali lagi berusaha melegakan tenggorokannya yang hampir tersedak, Aksa mengulas senyum andalan sambil menjalin jemari di depan dada. "Program ini, menurut saya, adalah solusi terbaik untuk meningkatkan keuntungan sekaligus menarik peminat."

"Ada alasan yang lebih mendetail?"

"Begini, Bu. Pertama, data statistik belakangan menunjukkan tingkat literasi negara kita yang termasuk paling rendah dibanding negara lain, bahkan paling rendah di Asia Tenggara. Harapan saya dan teman-teman editor lain, mengadakan acara dengan model seperti ini bisa bikin orang-orang tertarik." Aksa menarik napas, memberi kode pada Shilla yang segera menekan spasi laptop untuk mengganti salindia. "Kedua, kami ngelihat tren unik selama pandemi kemarin."

Proyektor menampilkan hasil survei tim karyawan pendatang baru. Seisi ruang meeting bergumam pelan; nadanya cenderung sangsi. Ridha Utami tampak tidak terkejut apalagi tertarik. Air mukanya kosong, bersama sedikit kerutan di dahi.

Wanita itu menopang dagu. "Memang, tren yang bagaimana yang kalian maksud?"

"Selama pandemi COVID-19, banyak pihak terutama dari industri hiburan yang berusaha untuk tetap eksis sambil mempertahankan bahkan meningkatkan profit. Kami coba menganalisis, lalu menemukan bagaimana mereka memanfaatkan 'waktu luang' konsumen secara maksimal. Kita semua di sini pasti tahu separah apa jenuhnya orang-orang karena harus karantina pada saat itu. Segala jenis gerakan jadi terbatas. Makanya, hiburan dari rumah udah pasti laku keras. Konser-konser online, workshop online, akses penayangan perdana film festival dipermudah, dan," senyum Aksa mengembang, "thread Twitter—atau yang sekarang disebut X."

Animasi burung biru di papan bergerak, lalu berubah menjadi logo X. Sejumlah tangkapan layar berisi utas-utas dengan angka engagement sangat tinggi bermunculan memenuhi salindia presentasi. Setelah Shilla menekan spasi sekali lagi, layar menayangkan diagram lingkaran bersama keterangan persentase.

"Lucunya, meskipun angka literasi Indonesia terbilang gawat, popularitas cerita fiksi yang di-posting lewat X justru meningkat pesat." Aksa menunjuk potongan paling besar dari diagram.

Rasa AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang