Bagian 6: Kucing dan Lebah

11 3 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Maaf ... gimana, Kak?"

Tangan Aksa mengepal ketika kalimat interogatif itu lolos dari Rasha yang berdiri rikuh penuh tanya. Kendati berusaha menanggapi lebih dulu, jemari Rasha mengubit pergelangan Aksa hingga ia terpaksa menutup mulut. Rasha ingin mendengar sendiri penjelasan Anggi dan seketika Aksa berharap mereka datang ke Taman Bacara paling tidak sepuluh menit lebih terlambat hari ini.

"Eh? Apa aku salah, ya?" Namun, tiba-tiba Anggi tertawa kecil seraya menarik kursi, lantas melendeh sambil mempersilakan lawan bicara untuk ikut duduk. "Kayaknya bukan ya, Sa? Dulu, aku sempat denger pas kamu ngobrol-ngobrol sama Shilla soal kenalan SMA yang kemusuhan banget sama kamu. Seingetku namanya 'rasa' atau 'sasa' atau something gitu, tapi apa aku keliru inget?"

Aksa bergeleng sambil tersenyum ragu meski menyadari Rasha melirik tajam. "Lagi kosong, Kak?"

"Iya, bakehouse libur. Kamu sendiri ada perlu apa, kalau boleh tahu? Pena Buana mau persiapan buat next project?"

"Enggak sih. Satu aja belum beres."

"Hm ... tapi sejauh ini aku lihat keren banget loh. Literasi Lestari jadi super rame sampai semua karyawanku pada ikutan nge-hype. Jarang deh lomba Bulan Bahasa sampai bisa trending di X. Berkat resep rahasia tim marketing ya, Sa?"

Dari arah pandangnya, Aksa tahu Rasha sibuk merogoh tas dan perhatiannya teralihkan sekelebat. "Gimana, Kak?"

"Tim marketing kalian, kok bisa bikin trending di X? Hebat loh. Langka acara literasi seheboh itu."

Ia mengulas senyum pada Anggi tanpa mengatakan apa-apa selain terkekeh sungkan, sebuah isyarat bahwa tidak ada komentar yang ingin disampaikan. Kemudian, alih-alih mendengarkan Anggi bercerita tentang semua karyawan di bakehouse yang dia kelola malah heboh memilih novel dan cerita pendek favorit dari peringkat 50 teratas Literasi Lestari dibanding membuat resep baru, Aksa tak bisa melepas pandangan dari Rasha yang kini mengemas barang. Dia buru-buru—setidaknya, Aksa tahu dia berusaha terlihat buru-buru.

"Sha? Ada apa?"

"Urusan." Sementara yang ditanya bahkan tidak repot menoleh.

"Urusan apa? Lo mau balik?"

Rasha memakai tas jinjingnya dan beranjak, membuat Anggi mendongak kaget. "Eh, Kak, maaf banget. Saya duluan ya. Harus sekarang nih, tiba-tiba temen chat gara-gara charger-nya enggak sengaja saya bawa."

"Eh? Kok bisa? Temen kamu di mana? Mau aku anterin?"

"Bisa aja sih, Kak. Saya juga ini enggak apa-apa, bisa sendiri kok." Sambil tertawa renyah, Rasha mundur dan melambaikan tangan tanpa sedikit pun melihat ke arah Aksa. "Dilanjutin deh ngobrolnya, saya permisi dulu ya."

"Sha." Suara Aksa cuma dianggap angin lalu oleh Rasha, sedangkan vokal Anggi sudah tak terdengar sedikit pun meski ikut panik lantaran Aksa tampak gelisah. Kalau sedang tidak tahu tempat, mungkin Aksa akan berteriak memanggil dan membiarkan dirinya ditegur penjaga.

Rasa AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang