"Jadi, ini tuh cuma perkara kalian tengkar waktu SMA. Delapan atau sembilan tahun lalu, ya?" Winda mengangguk paham, tapi Rasha mendesah kesal, yakin kalau temannya itu tidak benar-benar mengerti.
"Bukan 'cuma', Win."
"Intinya gini, kan," ujar Winda, mengacungkan jari telunjuk. "Dulu banget pas SMA, ada acara Bulan Bahasa di sekolah lo yang juara satunya bakal dikirim buat lomba menulis tingkat kabupaten dan diikutin kompetisi juga di tingkat provinsi. Lo sama cowok tadi—siapa namanya? Aksa, ya?—saingan gitu lah, ya. Masalahnya, Aksa ini anak donatur sekolah. Nyokap yang bersangkutan adalah ... sejenis ketua paguyuban wali murid. Sampai situ bener?"
Anggukan Rasha tidak bertenaga, lantas Winda berdeham dan melanjutkan. "Suatu hari, lo enggak sengaja denger kalau nyokap Aksa ngelobi guru-guru buat milih karya Aksa sebagai perwakilan sekolah. Alasannya, Aksa suka banget nulis. Supaya Aksa enggak merasakan sedih kalau-kalau gagal jadi juara dan punya karier cemerlang di dunia kepenulisan, si nyokap ambil jalan pintas. Bener? Ini versi lo, kan?"
"Spesifiknya, beliau enggak mau Aksa kalah dari gue," sahut Rasha dongkol, ingatannya seketika kembali ke masa-masa itu. "Bukan sombong, Win—"
"Mau bilang sombong juga enggak apa-apa, sih. Soalnya udah."
Rasha berdecak. "Serius nih, gue bukan berniat sombong, tapi gue memang punya nama yang cukup baik di antara guru-guru. Hampir satu sekolah tahu gue termasuk andalan SMA Jantera kalau ada lomba nulis. Mirip-mirip anak olimpiade lah. Kalau di sekolah, kan biasanya orang yang ikut olimpiade ya ... yang itu-itu doang, kan?"
"Iya, kebayang gue."
"Nah, di Jantera, kebetulan banget bidang seni mulai dari gambar, tari, lukis, sampai tulis, semuanya juga diperhitungkan sama guru-guru. Gue bersyukur beneran deh. Waktu itu, gue ngerasa keputusan buat sekolah di sana adalah keputusan paling baik yang pernah gue bikin seumur hidup. Kayak ... petualangan gue dimulai saat memijak kaki di tanah Jantera." Rasha menerawang, tidak sadar sudut bibirnya naik. "Terus di angkatan gue, dalam hal menulis, nama gue hampir selalu keluar sebagai pemenang."
Sambil berjalan mencari tempat bersandar, Winda menarik napas dalam-dalam. "Lo belum pernah kalah? Sama sekali?"
"Hampir, Win, hampir," geleng Rasha. "Selama SMA, cuma sekali doang gue gagal."
"Pas banget waktu Bulan Bahasa itu, ya?"
"Hm ... ya gitu deh. Pokoknya buat gue, Bulan Bahasa sepenting itu dan pertengkaran kemarin dulu bukan sekadar kejadian yang lewat."
Winda memiringkan kepala. Dari sorot matanya, Rasha tahu dia sedang mencoba mengerti. "Oke. Oke ... oke. Berarti—balik lagi ke cerita—si nyokap enggak pengin Aksa sedih kalau kalah, apalagi kalah dari lo. Akhirnya beliau dateng ke sekolah waktu masa penilaian, gitu kan?"
"Iya."
"Lo tahu, lo denger, lo enggak terima. Jadi, setelah ngeh sama rencana beliau buat ikut campur seleksi karya Bulan Bahasa, lo lapor ke kepala sekolah dan mengonfrontasi guru-guru ... eh, bentar. Ra, tiba-tiba gue keinget. Ini tuh yang lo pernah mention soal pengalaman lo debat sama staf Kesiswaan, bukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa Aksara
General FictionPagelaran Bulan Bahasa terbesar tahun ini, Literasi Lestari, telah resmi dibuka! Ratusan peserta dari penjuru negeri bersaing untuk memperoleh posisi pertama dan memperebutkan hadiah utama. Masalahnya, kompetisi bergengsi itu malah jadi medan tempur...