Bagian 7: Badak dan Koala

14 2 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kalau dibayangkan lagi, Rasha seratus persen mengakui adegan mengacir dari coworking space untuk kedua kalinya itu ternyata sangat memalukan.

Semua gara-gara Aksa, tapi perlu dicatat bahwa perihal ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan 'wanita selalu benar' yang disebut-sebut jadi alasan utama cowok-cowok bersikap antipati. Rasha cuma berusaha bersikap profesional untuk menahan diri dari ledakan emosi yang tinggal menunggu hitungan mundur. Maka sewaktu memutuskan berakting menerima telepon seseorang lalu terpaksa berpamitan, Rasha tidak pernah mengira Aksa akan mengejar lagi—bahkan ketika ia belum keluar dari area ruang kerja bersama.

"Sha, tunggu. Gue mau ngomong bentar. Sebentar aja."

Rasha hampir saja mengatakan 'kok lo sinetron banget sih' dan menggelinding gesit ke koridor lift, tapi mengingat Taman Bacara cukup ramai pasca jam kerja pada akhirnya ia cuma melengos sambil geleng-geleng. "Enak aja 'bentar, bentar' ... enggak ah, gue mau balik aja. Pusing."

Selepas Rasha mengatupkan bibir, setiap langkahnya terus diikuti bayangan Aksa. Lift, lobi, tama, bahkan hampir saja dia mengekor ikut menyeberang jembatan layang. Mau tidak mau, Rasha membalik tubuh tanpa aba-aba dan Aksa tersentak dengan wajah cengo.

"Sha," panggil cowok itu. "Tunggu. Gue ngerti lo pasti ngerasa—"

Decakan keras Rasha membuat Aksa terdiam. "Konteks?"

"Soal yang dibilang Kak Anggi, gue mau jelasin."

"Jujur, penasaran sih." Rasha menarik napas panjang. "Memang lo ngomong apa aja ke temen lo soal kemusuhan-kemusuhan itu? Tiap hari ketemu Kak Anggi yang gue denger selalu sama; ceritanya tentang penasaran sama musuh lo, pengin tahu siapa musuh lo, kayak gimana musuh lo, segala pakai mikir namanya 'sasa' atau 'rasa' atau apa kek."

"Cuma salah paham, Sha."

"Sa, gue bukan jenius, tapi juga enggak bodoh. Tahu kok yang dimaksud sama Kak Anggi memang gue." Nada bicara Rasha terlalu datar, sambil menatap Aksa dalam-dalam.

Hari sudah hampir gelap dan lampu jalan mulai menyala satu-satu. Karena Aksa tak kunjung menanggapi, Rasha mengangkat bahu, lantas kembali menekuni langkah meniti setiap anak tangga. Saat itu, sampai di seberang, ia memilih berbelok untuk menyusuri trotoar selagi Aksa tetap menjaga jarak di belakangnya tanpa kata.

Destinasi Rasha adalah kompleks tempat tinggal Winda sekaligus markas besar Resto Klutuk. Selain jarak yang tidak terlalu jauh, eksistensi masakan legendaris pelipur lara jadi pertimbangan utama. Di pikirannya cuma ada keinginan besar untuk menumpahkan semua keluhan ke meja makan dan menyantap mi ayam sampai tandas, jadi jangan salahkan Rasha yang sontak merengut ketika Aksa menghadang jalan dengan air muka gundah.

"Apa lagi?" ujarnya lelah.

"Itu cuma cerita tahun lalu, Sha. Bener gue cerita ke rekan kerja gue, tapi enggak ada ngomong aneh-aneh. Tujuan gue ke lo sekarang beneran untuk menebus yang terjadi dulu. Gue serius minta maaf, Rasha."

Rasa AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang