Bab 10:Dilema Kebenaran

13 6 0
                                    


Sarah baru saja tiba di rumah setelah hari yang panjang dan penuh tekanan. Dengan langkah lelah, dia menuju kamar mandi. Dia ingin membersihkan diri dari semua kotoran dan stres yang menempel setelah menghabiskan waktu bersama Ava, membahas kasus pembunuhan yang mengerikan itu.

Air hangat yang mengalir dari shower memberi sedikit kenyamanan bagi tubuh dan pikirannya yang lelah. Sarah memejamkan mata dan membiarkan air mengalir di wajahnya, mencoba melupakan semua kekacauan yang dia alami. Tapi pikirannya terus berputar, tak bisa berhenti memikirkan semua yang telah terjadi.

"Aku baru berumur 17 tahun," gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara air. "Aku masih sekolah, seharusnya aku tidak terlibat dalam semua ini."

Namun, ada dorongan kuat dalam dirinya untuk melanjutkan. "Tapi di sisi lain, aku ingin membela kebenaran. Aku ingin membantu menghentikan psikopat ini. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa melakukan sesuatu yang berarti."

Setelah mandi, Sarah duduk di meja belajarnya. Buku-buku pelajaran terbuka di depannya, namun pikirannya jauh dari tugas sekolah. Dia merasa takut, takut mati, tapi juga merasa bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu.

Di sisi lain kota, Ava sedang duduk di ruang tunggu sebuah klinik. Dia menatap jam di dinding, menunggu gilirannya untuk bertemu dengan dokter. Jantungnya berdetak tidak teratur, sisa luka dari serangan brutal yang hampir merenggut nyawanya dua tahun lalu.

"Ms. Ava, silakan masuk," panggil perawat dari pintu.

Ava berdiri dan masuk ke dalam ruangan dokter. Dokter, seorang pria paruh baya dengan wajah serius, menyambutnya. "Ava, bagaimana perasaanmu hari ini?"

Ava duduk di kursi dan menghela napas. "Jantungku masih sering berdebar tidak teratur, Dok. Aku merasa cepat lelah."

Dokter mengangguk, memeriksa catatan medisnya. "Kondisimu masih rentan, Ava. Kamu harus benar-benar menjaga kesehatanmu. Jangan sampai terlalu lelah atau stres. Jantungmu sudah mengalami banyak masalah"

Ava menatap dokter dengan penuh kecemasan. "Tapi, Dok, ada sesuatu yang harus aku lakukan. Kasus ini... pembunuhan ini... aku tidak bisa hanya diam."

Dokter menatapnya dengan penuh perhatian. "Aku mengerti keinginanmu untuk membantu, Ava. Tapi ingat, kesehatanmu adalah prioritas utama. Tanpa kesehatan yang baik, kamu tidak akan bisa melakukan apa pun."

Ava mengangguk pelan, tapi hatinya tetap gelisah. Setelah beberapa saat, dia pamit dan keluar dari klinik. Dalam perjalanan pulang, pikirannya terus berputar. Haruskah dia melibatkan polisi dalam penyelidikan ini? Apakah dia dan Sarah bisa menangani ini sendirian?

Malam itu, Sarah dan Ava berbicara melalui telepon, berbagi kebingungan dan ketakutan mereka.

"Ava, aku tidak tahu apakah kita bisa melakukannya sendiri," kata Sarah dengan suara gemetar. "Aku masih 17 tahun. Aku takut. Bagaimana jika kita gagal?"

Ava menghela napas, mencoba menenangkan Sarah. "Aku mengerti, Sarah. Aku juga merasakan ketakutan yang sama. Tapi kita tidak bisa membiarkan rasa takut menghalangi kita. Kita harus melanjutkan, meski dengan risiko yang ada."

"Tapi bagaimana dengan polisi?" tanya Sarah. "Mungkin kita harus melibatkan mereka. Ini terlalu besar untuk kita tangani sendiri."

Ava merenung sejenak sebelum menjawab. "Kau benar. Mungkin kita memang harus melibatkan polisi. Tapi kita harus melakukannya dengan hati-hati. Kita harus memastikan bahwa informasi yang kita miliki tidak bocor dan membahayakan kita."

Sarah merasa sedikit lega mendengar kata-kata Ava. "Baiklah, Ava. Aku setuju. Mari kita coba berbicara dengan polisi. Tapi bagaimana kita melakukannya?"

Ava berpikir keras. "Kita perlu mencari seseorang yang bisa kita percaya. Seseorang yang bisa menjaga informasi ini tetap rahasia. Mungkin kita bisa mencari detektif yang memiliki integritas tinggi."

"Bagaimana kita menemukannya?" tanya Sarah.

"Aku punya beberapa kenalan di kepolisian," kata Ava. "Aku akan mencoba menghubungi mereka dan mencari tahu siapa yang bisa kita percayai."

Sarah mengangguk meski Ava tidak bisa melihatnya. "Baiklah, Ava. Aku akan mendukung apa pun yang kamu putuskan."

Hari berikutnya, Ava menghubungi salah satu kenalannya di kepolisian, seorang detektif bernama Johnson. Dia menjelaskan situasinya dan meminta bantuan.

"Johnson, aku membutuhkan bantuanmu. Ada kasus pembunuhan yang sangat mirip dengan kasus yang terjadi dua tahun lalu. Aku yakin pelakunya adalah orang yang sama," kata Ava dengan nada serius.

Johnson mendengarkan dengan seksama. "Ava, aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi kita harus berhati-hati. Pelaku ini sangat berbahaya. Apa yang kau butuhkan dariku?"

"Aku butuh seseorang yang bisa menjaga informasi ini tetap rahasia dan membantu kami menyelidiki tanpa membahayakan nyawa kami," jawab Ava.

Johnson berpikir sejenak sebelum menjawab. "Baiklah, Ava. Aku akan membantu. Tapi kita harus sangat berhati-hati. Kita tidak bisa membiarkan pelaku ini mengetahui bahwa kita sedang mengintainya."

Ava menghela napas lega. "Terima kasih, Johnson. Aku sangat menghargai bantuanmu."

Setelah panggilan itu, Ava merasa sedikit lebih tenang. Dia menghubungi Sarah dan memberitahunya tentang rencana mereka untuk bekerja sama dengan Johnson.

"Sarah, Johnson setuju untuk membantu kita. Dia akan menjaga informasi ini tetap rahasia dan membantu kita menyelidiki," kata Ava.

Sarah merasa sedikit lega. "Terima kasih, Ava. Aku merasa lebih baik mengetahui bahwa kita memiliki seseorang yang bisa kita andalkan."

Ava tersenyum. "Kita akan melalui ini bersama, Sarah. Kita akan menemukan pelaku ini dan membawa keadilan bagi para korban."

Sarah mengangguk. "Ya, kita akan melakukannya. Aku akan melakukan apa pun yang aku bisa untuk membantu."

Ava merasa bangga dengan keberanian Sarah. "Kau adalah gadis yang kuat, Sarah. Jangan pernah meragukan dirimu sendiri."

Malam itu, Sarah tidur dengan sedikit lebih tenang, meski bayangan kasus pembunuhan itu masih menghantui pikirannya. Dia tahu bahwa perjalanan ini akan sulit dan berbahaya, tapi dia juga tahu bahwa dia tidak sendirian. Dengan Ava di sisinya dan bantuan dari Johnson, dia merasa lebih siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.

Di sisi lain, Ava juga merasa lebih tenang. Meskipun jantungnya tidak berdetak normal dan dia harus menjaga kesehatannya, dia merasa memiliki tujuan yang jelas. Dia bertekad untuk menyelesaikan kasus ini dan memastikan bahwa pelaku tidak bisa menyakiti orang lain lagi.

Dua gadis muda ini, meski bingung dan takut, siap untuk menghadapi tantangan yang ada di depan mereka. Dengan tekad dan keberanian, mereka akan melawan ketidakadilan dan membawa pelaku ke pengadilan, apapun risikonya.

A Night In HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang