Bab 14: Prank Penguntit

9 5 0
                                    

Sarah terbangun dengan perasaan tidak tenang. Mimpi buruk tentang sosok misterius yang mengintipnya kembali menghantui pikirannya. Malam itu sunyi, hanya suara angin yang berdesir di luar jendela yang menemani kesendiriannya.

Dia mencoba menenangkan diri dengan mengingat kata-kata penguat yang diucapkannya semalam. "Kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan," bisiknya pelan, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Namun, perasaan gelisah itu tidak mau hilang. Sarah memutuskan untuk bangun dari tempat tidurnya dan memeriksa jendela. Dia berharap tidak ada tanda-tanda keberadaan penguntit misterius itu. Ketika dia membuka tirai, hanya kegelapan malam yang menyambutnya.

Saat dia berbalik untuk kembali ke tempat tidur, dia terkejut melihat bayangan seseorang berdiri di dekat pintu kamar tidurnya. Sosok itu bergerak cepat, dan sebelum Sarah bisa bereaksi, sosok itu sudah berada di samping tempat tidurnya, menekan sesuatu yang dingin dan tajam ke dadanya.

"Diam atau aku akan melukai kamu," bisik suara rendah yang asing. Sebuah pisau mengkilat mengarah langsung ke jantung Sarah.

Sarah terdiam, tubuhnya gemetar ketakutan. Dia bisa merasakan denyut jantungnya yang semakin cepat, adrenalin memompa dalam aliran darahnya. Namun, dalam kekacauan itu, nalurinya untuk bertahan hidup mulai mengambil alih. Dia mengumpulkan keberanian dan mencari celah untuk melawan.

Dengan gerakan cepat yang tak terduga, Sarah menendang sosok itu dengan kuat, membuatnya terjatuh ke lantai. Pisau terlepas dari tangan sosok tersebut dan jatuh di dekat kaki tempat tidur. Dalam sekejap, Sarah melompat dari tempat tidurnya, siap untuk melawan jika diperlukan.

Lampu kamar menyala, dan untuk pertama kalinya, Sarah melihat wajah sosok itu dengan jelas. Dia tercengang. Sosok itu adalah saudara tirinya, Kevin, yang tampak terkejut dan tertawa kecil, meski terlihat sedikit kesakitan karena tendangan Sarah.

"Kevin? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Sarah dengan suara yang penuh kebingungan dan kemarahan. "Kamu hampir saja membuatku terkena serangan jantung!"

Kevin duduk sambil memegangi pinggangnya yang kesakitan. "Aku hanya bercanda, Sarah. Aku tidak berpikir kamu akan menendang sekeras itu," katanya sambil terkekeh, meskipun masih kesakitan. "Ini semua cuma prank."

"Prank? Kamu menyebut ini prank?" Sarah hampir berteriak. "Kamu masuk ke kamarku di tengah malam dengan pisau dan berpura-pura menjadi psikopat? Apa kamu sudah gila?"

Kevin menghela napas dan berdiri, memasukkan pisau plastik yang ternyata hanya mainan ke dalam sakunya. "Maaf, Sarah. Aku tidak menyangka kamu akan bereaksi seburuk itu. Aku pikir ini akan menjadi lelucon yang lucu."

"Lelucon yang lucu? Kamu sungguh tidak berpikir ini akan lucu," balas Sarah dengan marah. "Aku sudah cukup ketakutan akhir-akhir ini, dan kamu justru menambahnya. Bagaimana kamu bisa berpikir ini ide yang bagus?"

Kevin menundukkan kepala, merasa bersalah. "Aku benar-benar minta maaf, Sarah. Aku tidak bermaksud membuatmu ketakutan. Aku hanya berpikir itu akan mengendurkan ketegangan. Aku tidak tahu bahwa kamu sedang mengalami sesuatu yang serius."

Sarah menghela napas, mencoba menenangkan diri. "Kevin, kamu harus lebih peka. Aku telah merasa diawasi dan ketakutan akhir-akhir ini. Apa yang kamu lakukan ini sangat tidak membantu."

Kevin mengangguk, tampak menyesal. "Aku mengerti. Sekali lagi, maafkan aku. Aku janji tidak akan melakukan hal bodoh seperti ini lagi."

Sarah duduk kembali di tempat tidurnya, masih mencoba menenangkan diri. "Baiklah, tapi kamu harus tahu bahwa ini benar-benar tidak lucu. Kamu harus lebih berhati-hati dengan cara kamu bersikap."

Kevin tersenyum kecil. "Ya, aku janji. Sekarang, mungkin lebih baik aku pergi dan membiarkan kamu istirahat."

"Ya, itu ide yang bagus," kata Sarah dengan tegas.

Kevin keluar dari kamar dengan hati-hati, meninggalkan Sarah yang masih mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Malam yang penuh dengan ketegangan itu akhirnya mereda, tetapi Sarah tahu bahwa hari esok akan membawa tantangan baru. Dia memutuskan untuk lebih waspada dan tidak membiarkan rasa takut menguasainya.

Sarah mematikan lampu dan berbaring kembali di tempat tidurnya. Meskipun masih merasa marah dan kesal, dia merasa lega bahwa ancaman itu hanyalah lelucon bodoh dari saudara tirinya. Namun, dia bertekad untuk tetap waspada dan kuat, apapun yang terjadi. Dengan pikiran itu, dia menutup matanya dan mencoba untuk tidur, berharap bahwa mimpi buruknya tidak akan kembali.

A Night In HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang