"Memang tidak semua anak yang hadir
di muka bumi ini ada, karena keinginan orang tuanya. Tapi ingat! karena keinginan Tuhan-lah kita diciptakan untuk ada."
*
*
Selamat membacaGelap gulita memenuhi. Di atas tanah yang dipijak bangunan-bangunan rumah berdiri, dengan lampunya yang mati. Gadis kecil yang tengah meringkuk di atas kasurnya itu terbangun karena suara petir yang terus bergemuruh di luar sana. Perlahan kaki kecilnya melangkah. Menelusuri dinding di tengah gelapnya malam, karena matinya sumber penerangan.
"Bunda, ayah ..."panggilnya pelan.
Gadis itu nampak sangat ketakutan akan kegelapan. Kilatan cahaya petir mengintip dari celah-celah gorden besar. Buliran keringat mulai memenuhi seluruh badannya.
"Bunda, Shasa takut."
"Ayah..."panggilnya kembali. Berharap seseorang bisa mendengar rintihan kecilnya.
Tangannya terus meraba dinding berusaha mencari knop pintu kamar orang tuanya. Remang-remang cahaya dapat ia lihat dari celah pintu yang sedikit terbuka.
"Mengapa?"
Suara sang Ayah terdengar begitu ia berhasil mendekati sumber cahaya tersebut.
"Bukankah aku sudah menjelaskan mas?"
"Terlalu perih untuk terus mempertahankan semua ini. Aku sudah lama menahan sesak setiap kali melihat wajah Tavisha yang mengingatkan aku pada pria brengsek itu."
Jemari kecil Tavisha yang berniat mendorong pintu seketika tertahan begitu mendengar sahutan sang ibu sembari menyebut namanya.
Terdapat beberapa jeda sebelum suara Ayahnya kembali terdengar. Kali ini jauh lebih tegas dan penuh penekanan. "Alasan kamu ini tidak masuk akal."
"Saya jelas tahu bagaimana kamu begitu menyayanginya. setidaknya, jika memang kamu ingin bercerai dari saya jangan gunakan Tavisha sebagai alasan, karena itu tidak akan berguna!"
"Mengapa aku tidak bisa menjadikan dia sebagai alasannya Mas? Sementara aku sangat membenci anak itu."
"Kehadirannya tidak pernah diharapkan oleh siapa pun, bahkan ibunya sendiri. Lantas alasan apa yang kamu miliki sehingga ingin terus mempertahankan anak kotor-"
"CUKUP! Hentikan omong kosong mu Nayana?!"
Tubuh anak itu tersentak kaget. Ia menggigit bibir bawahnya kencang berusaha menahan isakan.
Tangis yang ia harapkan dapat mereda, rasa tenang dan aman yang ingin ia dapatkan tatkala menemui orang tuanya, tidak Tavisha temukan.
Justru sebaliknya.
Perlahan kakinya mulai melangkah menjauh dari balik pintu. Dia belum sepenuhnya mengerti pembahasan seperti apa yang orang tuanya bicarakan di tengah malam seperti ini, seolah tidak ada lagi waktu di esok hari.
Namun, sedikitnya dari obrolan tersebut membuat Tavisha tahu, kalau ibunya sendiri ternyata membencinya, dan dia adalah seorang anak yang kehadirannya tidak pernah diharapkan.
Tapi mengapa? bukankah Tavisha putri Nayana sendiri? Jadi apakah bentuk kasih sayang yang selama ini ia tunjukkan pada Tavisha adalah sebuah kepalsuan dan kepura-puraan?
Sungguh sakitnya tidak tertahan. Ternyata ada anak di bagian muka bumi ini yang tidak pernah di harapkan, ada anak yang hadirnya dianggap sebuah beban dan kesalahan. Lantas kemana nanti tempat mereka pulang? Kemana mereka akan berbagi? jika tempatnya untuk kembali menghancurkan.
Dia terus melangkah tanpa tahu arah. Dia hanya ingin menjauh dari bising suara yang dia dengar, buliran air mata semakin membasahi pipinya, tangan kanannya berusaha mencapai apapun yang bisa dia gapai. Ketakutannya akan gelap dan suara petir, mulai tersamarkan oleh rasa sakit yang menghujam hatinya.
Perkataan ibunya terus terngiang di kepala, seolah mengingatkan bahwa kehadirannya amat tidak diharapkan.
"sakit," rintihnya pelan sembari menekan kuat dadanya. Tangan kanannya mengusap lembut puncak kepalanya mencoba untuk menghentikan bising suara yang terus berputar. Sebagaimana yang biasanya ibunya lakukan. Lama kelamaan usapan di kepalanya berubah kasar, saat rasa sakit dan sesak tidak kunjung menghilang.
"Shasa gak denger apapun, dan gak liat apapun-Jadi tolong pergi...ini... sakit." ia menggeleng-gelengkan kepalanya kencang.
Tavisha tidak menghentikan langkahnya. Sampai pada langkah terakhir kakinya tidak dapat lagi berpijak dengan sempurna. Tubuhnya seakan melayang, kemudian tak lama menghujam dinginnya lantai. Bersamaan dengan itu guci yang tersimpan pada pinggir tangga terjatuh dengan sempurna menciptakan suara bising yang menggelegar memecah keheningan malam.
"Ayah, bunda!" teriak histeris seseorang dari atas sana.
*****
To Be Continued
Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar!!!~Naraya Tavisha Widyaningtyas~
Pretty/Young/Unnafected/PokerFace/Caring/Traumas.~Arkan Sekantala Rahardja~
Mature/Smart/Perfeksionis/Charming/Ressilent/Calm/Workaholic.Ig:@putrikelabu_
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebatas Kewajiban
ChickLitDengan sedikit keraguan Tavisha merobohkan prinsipnya hanya untuk menerima lamaran dari Arkan. Ia yang dikenal teguh pada pendiriannya seakan menghilang setelah bertemu dengan pria itu. Setidaknya itu-lah yang mereka lihat. Arkan datang dengan memba...