Bab 1.

25.5K 1.7K 76
                                    

Sebelumnya... Follow akun glummzz sebagai partner kolaborasi ku dalam cerita ini...







Kedua mata yang telah terpejam selama dua hari lamanya, kini perlahan mulai terbuka. Diiringi dengan kerutan samar pada dahi putih, yang seakan memberitahu jika ia tengah melawan rasa sakit.

"Sshh." ringisan terdengar dari belah bibir tipis yang tampak pucat. Kedua mata yang kini telah terbuka sepenuhnya mengerjap pelan, berusaha menyesuaikan cahaya yang langsung menyerang netra redupnya.

Andreas Halley, menatap sekitar ruangan dengan wajah bingung. Namun, saat dirinya mencoba bangkit untuk duduk, rasa sakit seketika menghantam kepalanya.

Tubuhnya kembali terhantam kasur. Ringisannya bertambah ketika sakit dikepala seakan terhantam oleh batu besar.

Bibir terjaga itu digigit menyalurkan rasa sakit yang diderita siempu. Detik demi detik sakitnya perlahan menghilang, walau masih tersisa tetapi tidak separah sebelumnya.

Andreas mencoba duduk kembali. Sedikit susah tetapi dia tetap mencoba. Tubuhnya seakan lelah karena berbaring di ranjang pesakitan.

Cklek.

"A-Ayah?"

Gabriel Halley, anak pertama dari Andreas. Sejak kematian sang istri setelah melahirkan Diego Halley, anak bungsu mereka. Andreas harus menjadi lebih pengertian dan pintar mengatur waktu, dalam bekerja serta merawat kedua putranya.

Meski ada kedua orang tuanya yang juga ikut membantu merawat putranya, Andreas tetap teguh dan selalu berusaha untuk menjadi seorang Ayah yang baik.

Andreas meringis pelan. "Siapa?" tanyanya lirih, menatap waspada pada Gabriel yang berjalan mendekat.

"Apa maksud Ayah? Ini aku Gabriel, jangan bercanda." Gabriel segera mendudukkan diri disamping ranjang, ia meraih tangan putih sang Ayah yang tampak tersentak kedalam genggaman.

"Aku akan menghubungi yang lain, dan memberitahu mereka jika Ayah sudah sadar." Gabriel mengecup tangan Andreas. Namun, sedetik kemudian tatapannya berubah tajam karena Andreas menyentak tangannya pelan.

"Kau siapa?" suara Andreas terdengar lemas. Dirinya tidak tahu siapa pemuda ini, kenapa dia dengan berani mencium tangan dan memanggilnya Ayah?

Andreas menyembunyikan tangannya di belakang tubuh. Perlakuan Gabriel barusan masih membekas. Skinship yang ia dapat dari orang asing tak dikenal.

"Aku, bukan ayahmu. Kau pasti salah orang." ucap Andreas, sedikit ragu. Karena hatinya tiba-tiba terasa tak nyaman setelah berkata demikian.

Gabriel tampak berdesis tak suka. Sang Ayah yang biasanya akan membalas dengan mengusap kepalanya justru bersikap tak terduga. Tanpa kata, Gabriel langsung berdiri dan berjalan keluar dari ruang rawat VVIP tempat Andreas dirawat kini.

Sedangkan Andreas, menatap bingung pada punggung tegap Gabriel yang menghilang dibalik pintu.

「 Treated like a child 」

Gabriel membanting pintu ruangan dokter yang bertugas merawat ayahnya. Melangkah lebar mendekati dokter yang terkejut karena ulahnya.

Mengepalkan tangan kuat lalu meninju si dokter hingga pria dengan jas kebanggaannya itu jatuh ke lantai dingin.

"Kau apakan ayahku sialan!" marahnya. Suaranya naik beberapa oktaf. Penolakan ayahnya membawa mood buruk untuknya.

"Kenapa dia berubah hah!" Gabriel mengangkat kerah sang dokter. Kemarahan memenuhi dirinya.

"T-Tuan, tolong tenanglah." Dokter tersebut segera berdiri dengan ringisan, mengusap darah diujung bibirnya karena pukulan Gabriel barusan tak main-main.

"Tenang katamu?! Ayahku bersikap aneh dan kau memintaku tenang?!" Gabriel mencengkram kerah sang Dokter.

"Tolong biarkan saya memeriksa Tuan Andreas lebih dulu untuk bisa lebih memastikan." tenang sang Dokter, berusaha melepaskan cengkraman tangan Gabriel.

"Kalau begitu cepat periksa Ayahku!" desis Gabriel, mendorong kasar tubuh sang Dokter kearah pintu keluar.

「 Treated like a child 」

Diruang rawat Andreas, laki-laki itu kembali dibuat waspada. Tatapannya setia tertuju pada seorang pemuda asing lainnya, yang sedari tadi ingin memeluk dirinya dengan menahan tangis.

"Ayah, Ayah kenapa?"

Diego Halley, anak kedua serta bungsu Andreas. Menatap sendu sang Ayah dengan tangan terkepal, ia hanya ingin pelukan. Rasa rindu kepada sang Ayah kini tak bisa lagi ditahan.

"Sudah kubilang, aku bukan Ayahmu." Andreas tampak frustasi, memegangi kepalanya yang kembali berdenyut nyeri.

Saat Diego ingin membantah untuk yang kesekian kalinya, pintu ruangan tiba-tiba dibuka dengan kasar oleh Gabriel.

"Cepat periksa Ayahku!" sentak Gabriel, mendorong tubuh sang Dokter kearah Andreas.

Dokter pun segera memeriksa Andreas, dengan begitu hati-hati dan teliti. Dia tidak ingin melakukan kesalahan dan membuat keluarga Halley marah besar.

Andreas pun pasrah ketika dia diperiksa. Apalagi rasa pusing di kepalanya mulai timbul sejak tadi. 

Selang beberapa menit kemudian, dokter menganggukkan kepala mengerti apa yang terjadi pada pasiennya.

"Ini hanya praduga sementara. Tuan Andreas mengalami hilang ingatan. Retakan tulang dibelakang kepalanya membuat saraf otaknya terganggu. Mungkin bersikap sementara. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, saya akan melakukan CT stan," jelas si dokter.

"Tidak mungkin, Ayah, Ayah tidak mungkin melupakan Diego." Diego mendekati Andreas, menggoyangkan tangan sang Ayah dengan rengekan. "Ayah, ini Diego, dan itu kak Gabriel, kami anak Ayah."

Melihat wajah Diego yang menahan tangis, Andreas tiba-tiba merasa luluh. Tangannya yang masih lemas terangkat, mengusap rambut Diego dengan pelan.

"Ayah masih mengingat kami kan? Lihat, kak, Ayah mengusap kepalaku! Dokter pasti salah!" Diego menyusup kedalam dekapan Andreas, mengusap punggung tangan sang Ayah yang terpasang infus dengan lembut. "Ini pasti sakit, nanti Diego kasi Ayah permen kesukaan Ayah biar sakitnya hilang."

Andreas menarik tangannya canggung. Dia merasa asing dengan keberadaan kedua pemuda itu. Dokter telah keluar karena takut pada Gabriel.

"Dengar, aku bukan ayah kalian." Dia mencoba tenang. Mengabaikan tatapan tajam yang dilayangkan kearahnya.

Andreas memandang Diego, karena anak itu sepertinya bisa di ajak bicara.

"Tapi ayah adalah ayah Diego."

Diego mengusap rambut depan sang Ayah yang sedikit menghalangi mata. "Ayah sungguh hilang ingatan? Ayah, kami memang anak Ayah. Ayah tenang saja, kami akan membantu Ayah supaya bisa mengingat semuanya kembali."

Gabriel menghela nafas. Melihat Andreas hanya diam tanpa niat menjawab, ia segera mendekat dan kembali meraih tangan sang Ayah kedalam genggaman.

"Jangan banyak berpikir. Ayah harus banyak beristirahat agar bisa cepat pulih." Gabriel mengusap pipi tirusnya pada tangan sang Ayah, tanpa peduli meski Andreas sedikit risih.




To be continued...

Treated like a child ( Slow Up ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang