Bab 13.

7.7K 928 7
                                    


Gabriel membawa paksa sang ayah pulang kerumah. Berada di tempat arena membuat ayahnya menjadi pusat perhatian. Gabriel tidak suka, ayahnya milik keluarganya. Orang lain tidak boleh melihat wajah sang ayah.

Apalagi ada dua penganggu besar di malam ini. Gabriel menjadi menyesal karena telah membawa sang ayah ke tempat bermainnya.

"Huu.. Belum apa-apa sudah pulang." Andreas menggerutu. Mulutnya mencebik, dia bersedekap dada kesal. Dia belum tau apakah Kavin memenangkan pertandingan atau tidak. Anaknya malah mengajak dirinya pulang lebih dulu. Andreas kan kesal.

"Sudah malam. Nanti oma marah." Hanya itu yang bisa Gabriel ucapkan sebagai alasan. Karena tak mungkin dia menjawab kebenarannya.

Andreas mendengus. "Kalau begitu berhenti di supermarket terdekat, Ayah ingin membeli sesuatu." Dia tak menoleh pada Gabriel. Dia masih kesal.

"Apa yang ingin Ayah beli?"

"Sesuatu yang penting untuk keberlangsungan hidup." Andreas menatap keluar jendela mobil dengan serius.

Gabriel tampak berpikir. Kemudian, entah kenapa ia tersenyum geli seakan tahu apa yang di maksud oleh sang Ayah.


「 Treated like a child 」


"Oh.. Jadi ini yang dimaksud sesuatu untuk keberlangsungan hidup?" seru Gabriel. Melihat dua tenteng kresek besar yang di bawa ayahnya. Dia cukup yakin jika didalamnya berisi cemilan kesukaan Andreas juga pastinya minuman yang memiliki komposisi susu.

Andreas melengos, dia masuk kedalam mobil. Belanjaannya dia lempar ke belakang. "Terus kenapa?" Dia mendelik menatap Gabriel yang tertawa kecil.

"Aku sudah bisa menebak, Ayah tidak akan betah berdiam di Mansion tanpa camilan." Gabriel masih tertawa, kemudian membantu sang Ayah menutup pintu mobil.

"Jangan mengejek!" seru Andreas, begitu Gabriel telah duduk kembali di kursi pengemudi.

"Aku tidak. Apa Ayah yakin itu cukup? Tidak ada yang ingin di beli lagi?" Gabriel menunjuk dua kresek besar di kursi belakang dengan dagu.

Andreas mengerutkan kening, tampak berpikir dengan serius. "Tidak ada, kita pulang sekarang sebelum Oma mu marah."

Gabriel menganggukkan kepala setuju. "Ayah benar."

「 Treated like a child 」

"Loh, sudah pulang?" Heran Esmira. Dia menatap jam dinding mewah yang terpatri di sudut mansion. Masih belum sampai dua jam semenjak keduanya pergi.

Andreas mendengus. "Salahkan cucu oma. Belum puas aku nonton pertandingan, Gabriel malah ngajak pulang, " sungut nya mengadu. Andreas masuk kedalam membawa cemilannya. Mulutnya tak berhenti bercerocos. Membuat para maid dan penjaga yang berlalu lalang menggelengkan kepala.

Tidaklah Andreas tau bahwa Gabriel saat ini sedang menelan ludah gugup. Dia lupa memberirahu ayahnya untuk tutup mulut tentang mereka yang pergi ke arena balap.

Tatapan Esmira berubah menusuk. "Gabriel? Bisa kau jelaskan maksud ucapan Ayahmu barusan?"

"O-oma." Gabriel menggigit bibir bawahnya, memasang wajah semelas mungkin.

"Pertandingan apa?! Katakan dengan jujur!" nada Esmira meninggi, namun ia tetap mencoba menahan diri. Agar tak keterlaluan pada cucu kesayangannya yang teramat nakal dan keras kepala.

"Aku hanya membawa Ayah untuk bertemu dengan temanku, kebetulan sedang berada di arena balap." Gabriel masih menatap Esmira memelas.

"Tapi sumpah Oma, aku sudah berusaha untuk menyeret Ayah pulang secepat mungkin. Tadi, kita juga sempat mampir ke supermarket untuk membeli camilan." lanjut Gabriel memberi penjelasan panjang lebar, berharap sang Oma akan mengasihaninya sedikit saja.

Esmira sangat seram jika marah. Gabriel berkeringat dingin, bulu kuduknya berdiri. Entah hukuman apa yang akan dia dapatkan. Dia tak akan menyalahlan sang ayah, Gabriel meurtuki sikap cerobohnya.

"Gabriel!! Kenapa cemilan ayah kurang satu?"

Esmira yang tadinya ingin berucap harus tertunda lantaran Andreas datang berwajah garang. "Kamu makan ya?"

Gabriel menghela nafas, beruntung sekali ayahnya datang tepat waktu. "Oh ayah. Mungkin saja tertinggal di mobil. Ayo, kita ambil."

Andreas menatap Gabriel tajam, namun tetap menurut saat tangannya diseret untuk kembali keluar Mansion.

"Camilan hanya kurang satu, tapi bisa-bisanya Ayah masih menyadarinya." gumam Gabriel menggeleng pelan, namun dalam hati mengucap syukur bisa terlepas dari amukan sang Oma.

Saat mereka tiba di ambang pintu Mansion. Andreas dibuat menyipitkan mata, saat silau dari lampu mobil yang baru tiba tak sengaja menyorot tepat ke wajahnya.

Ketika lampu sudah mati, Gabriel segera menarik Andreas kembali ke mobil miliknya. "Oh itu ayah, rupanya jatuh."

Gabriel segera mengambil satu cemilan wafello. Dia menyodorkan kearah Andreas. "Mungkin jatuh waktu ayah mengambilnya tadi."

"Sepertinya iya. Maaf ya, ayah udah nuduh kamu." Andreas menyengir kuda.

"Apa yang kalian lakukan? Dan Eas, ada apa dengan penampilanmu itu?" Caden melempar kunci mobil pada salah satu penjaga, kemudian berjalan menghampiri Andreas dan Gabriel.

Gabriel kembali dibuat panas dingin, dengan pandangan ragu dan gugup ia menoleh pada sang Ayah. Menunggu jawaban apa yang akan diberikan.

"Gabriel membawaku keluar untuk membeli camilan." jawab Andreas santai, memeluk bungkus camilannya dan berlalu masuk kedalam mansion.

Gabriel menghela nafas lega. Ayahnya menyelamatkan dirinya dua kali.

"Kenapa kau terlihat lega Gabriel?" tanya Caden. Matanya memicing curiga.

Sebisa mungkin Gabriel bersikap santai. "Apa? Aku lega karena menemukan cemilan yang ketinggalan di dalam mobil."

"Ayah tadi menuduhku memakannya." lanjut Gabriel, langsung mengambil langkah lebar untuk pergi.

Sedangkan disisi Andreas, ia diam-diam mengulum bibir menahan tawa. Andreas sebenarnya sengaja melakukan semua hal tadi, demi menyelamatkan putranya dari amukan Esmira dan Caden.

"Anak Mommy ternyata sangat pintar." Esmira tiba-tiba menghalangi jalan Andreas, menatap bungsunya dengan wajah menggoda.

"E-eh mommy." Andreas gelagalapan. Melihat tatapan Esmira, dia sedikit gugup.

"Tentu saja, memang kapan aku bodoh."

"Heh! Mulutnya!" Esmira menyentil pelan dahi putih Andreas.

Andreas mengerucutkan bibir. "Sudah ya Mom, ada hal penting yang harus kulakukan."

Tanpa menunggu jawaban sang Mommy, Andreas langsung melesat pergi menuju Lift. Esmira menggelengkan kepala maklum. Mungkin kali ini, dia melepaskan cucunya.

Dia menoleh ketika suara langkah terdengar. Gabriel datang bersama suami. Kedua terlihat sedang berbicara sesuatu. Esmira mendekat untuk mengambil tote bag yang dibawa suaminya.

Lalu tanpa banyak kata pergi meninggalkan Caden serta Gabriel. "Sekarang aku tau, dari mana sikap ayah datang."

Caden tertawa kecil. "Kau baru menyadarinya?"

"Hmm."

"Ayo ikut Opa sebentar. Kau tidak lupa kan, kau adalah calon seorang pemimpin." Caden merangkul bahu Gabriel, membawanya untuk pergi ke ruang kerjanya yang berada di lantai atas.




To be continued...

Treated like a child ( Slow Up ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang