Bab 8.

9.2K 991 31
                                    


Saat ini, Andreas tengah berada di dapur seorang diri. Setelah pulang dari menjemput Gabriel dan Diego, kedua putranya itu kini tengah naik kelantai atas untuk membersihkan diri.

Andreas yang menumpukan satu tangan pada meja bar dapur, tampak sibuk mengaduk susu rasa coklat buatannya sendiri. Ia tidak tahu Esmira berada dimana, dan para Maid juga tidak ada yang terlihat.

"Okay, kita lihat ada apa saja di dalam kulkas." Andreas membawa gelas susu ditangannya, kemudian berjalan kearah kulkas berukuran besar yang berada disana.

"Ho? Ini beer?" Andreas mengambil satu botol berwarna hitam. Terdapat merek X disana. Andreas jadi penasaran, apakah dia memiliki ketahanan kuat terhadap alkohol.

"Coba seteguk sepertinya bagus." Andreas mengarahkan botol itu pada mulutnya.

"Apa yang sedang kau lakukan Eas?"

"O-oh?" Andreas menoleh dengan kaku. Dengan segera, ia menyembunyikan botol beer tadi kebelakang tubuhnya.

Bola mata Andreas membulat sempurna, saat menemukan kehadiran Daven tengah bersedekap dada menatapnya tajam.

Andreas meringis "Apa yang kakak lakukan disini?" tanyanya berusaha santai. Ia berjalan mundur merapatkan tubuh pada pintu kulkas, lalu diam-diam meletakkan botol beer ditangannya dengan hati-hati.

"Aku benci jika saat bertanya namun dijawab oleh pertanyaan." datar Daven.

"Aku membuat susu, lihat?" Andreas menutup pintu kulkas, mengangkat gelas susu ditangannya kehadapan sang kakak.

Dia sangat gugup dan takut. Bagaimana jika dia ketahuan. Oh astaga, Andreas harus memikirkan cara agar saat ketahuan dia tak akan dimarahi.

Karena besar kemungkinan Daven tidak menyukai kebohongan. Andreas berpikir keras, tentang apa yang harus dia lakukan jika nanti Daven tau.

Andreas tak mau terkena hukuman. Walau agak tak terima dia orang dewasa yang bahkan tidak boleh menyentuh beer, ya kan?

"Andreas!"

Oh, Andreas terpikirkan sesuatu. Agak memalukan namun jika demi kedamaian hidupnya.

"And-"

"Eumm.. Maaf, tadi aku tidak sengaja menemukan botol beer." Andreas menunjukkan kearah kulkas. "Aku pikir itu air jadi aku berniat meminumnya." Dia berkata sepolos mungkin.

Daven memicing tajam. Namun melihat wajah manis Andreas yang memelas, ia merasa cukup terhibur.

Daven berjalan mendekati Andreas. "Kakak tahu kau berbohong. Tapi untuk kali ini, kakak akan memaafkanmu."

Mendengar ucapan Daven, bahu Andreas seketika melemas. "Maaf." ringisnya pelan.

"Kak, jangan bilang sama daddy dan mommy ya?" Andreas mengatakan secara hati-hati.

Sebelah alis Daven langsung terangkat. "Tidak janji."

"Kak!" Andreas mendekati Daven, memegang lengan sang kakak dengan tatapan memohon. "Ayolah~ aku mohon, ya? Ya? Ya?"

"Tidak." singkat Daven, melepaskan tangan Andreas dan beranjak pergi.

"Kak, tega banget." Andreas mengikuti Daven dari belakang. Mulutnya menggerutu  memohon pada kakaknya agar tidak mengadu.

Tidak bisa dibayangkan oleh Andreas hukuman apa yang menanti dirinya jika ketahuan. Padahal dia belum mencicipi, masa mau kena hukuman.

Oh ayolah, Andreas seperti sudah beradaptasi dengan keluarganya.

Bruk!

"Awh!"

Andreas meringis, memegangi dahinya yang baru saja terbentur punggung tegap Daven.

"Kenapa kakak berhenti tiba-tiba sih?!" seru Andreas kesal.

Daven segera berbalik, ikut mengusap dahi sang adik yang memasang wajah kesal. "Maaf, kakak tidak akan mengadukan yang tadi."

Mendengar itu, wajah Andreas berubah sumringah. "Nah, itu yang aku mau." ujarnya senang. Langsung mengambil langkah pergi meninggalkan Daven yang mendengus.

「 Treated like a child 」

"Ini yang betul Diego. Ga Percayaan banget sih. Ayah yakin kau akan dapat nilai sempurna," ujar Andreas sedang mengajari Diego.

Diego menatap ayahnya ragu. "Terakhir kali ayah membantu. Diego dapat nilai 35."

Andreas mendengus. "Ayah tidak ingat pernah mengajarimu hingga kau dapat nilai jelek."

"Iyalah, itukan sebelum ayah masuk rumah sakit."

Puk!

"Ayah!" rengek Diego, mengusap bahunya yang baru saja mendapat tamparan sayang dari Andreas.

"Yasudah belajar sendiri, Ayah tidak mau lagi mengajarimu."

Andreas hendak beranjak, namun Diego segera memeluk tangannya.

Diego mengusak wajahnya pada lengan Andreas. "Hanya bercanda Ayah, Diego hanya bercanda."

Andreas menyeringai puas. "Makanya, ikuti kata ayah." Dia kembali duduk.

"Kalau nilaimu tetap buruk. Itu berarti gurumu yang tak bisa menilai," ujarnya lalu kembali mengajari Diego.

Gabriel, yang sedari tadi hanya diam memperhatikan, langsung menggeleng tak habis pikir.

"Kalau nilai Diego bagus? Apa nanti dapat hadiah?" tanya Diego, mengetuk-ngetuk pen pada buku.

"Dapat tanda tangan ayah," jawab Andreas penuh percaya diri.

Diego memiringkan kepala. "Terus, dengan tanda tangan ayah, Diego  dapat apa?"

"Tanda tangan ayah!"

"Iya Diego tau. Tapi dengan itu, Diego bakal dapat apa?!"

"Tanda tangan ayah Diego!"

Gabriel segera bangkit, berjalan menghampiri keduanya yang sedang berdebat.

"Kau sudah besar, dapat nilai bagus saja masih minta hadiah?" Gabriel menyentil dahi Diego.

"Memangnya kenapa? Tidak boleh?! Lagi pula aku meminta hadiah pada Ayahku sendiri!" sungut Diego.

Gabriel mendengus. "Ayah, biar aku saja yang mengajarinya."

Andreas malah menatap tajam Gabriel. Dia bersedekap dada marah. "Memangnya kau pikir ayah tidak sanggup mengajari Diego?"

Gabriel mendadak kaku, ditatap oleh kedua anak ayah yang memandang dirinya garang. Tapi lihat itu, dimana letak seramnya?

"Baiklah, baiklah. Sepertinya aku salah bicara." Gabriel mengalah, dan memilih kembali ke tempat duduknya.

Andreas mendengus, ia kembali mendudukkan diri di samping Diego dan mulai kembali mengajarinya.

Teringat sesuatu, Andreas menoleh kearah Gabriel. "Ngomong-ngomong Gabriel, apakah ayah memang memilki teman dekat bernama Kanza?" Bukan apa, Dia hanya merasa harus memastikan apakah Kanza merupakan temannya atau tidak.

Gabriel terlihat berpikir. "Aku tidak tau Kanza, tetapi setahuku ayah memiliki teman dekat bernama Samuel."

"Samuel, bukan Kanza?"

Gabriel tiba-tiba berwajah datar.  "Ayah tidak pernah mengenalkan seseorang bernama Kanza pada kami."

Andreas dulu, ketika dia kenal atau dekat dengan seseorang. Dia wajib memberi tahu keluarganya. Entah itu lelaki atau wanita. Halley tidak ingin Andreas memiliki musuh dibalik selimut.

"Kenapa Ayah tiba-tiba menanyakan hal itu?" Diego ikut menyahut.

Andreas terdiam tampak berpikir, kemudian menggeleng. "Tidak ada, hanya sekedar bertanya."

Gabriel mendelik tajam. "Jangan menyembunyikan sesuatu dari kami."

Andreas ikut mendelik. "Iya, anak Ayah yang tampan."




To be continued...

Treated like a child ( Slow Up ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang