Sarapan sudah terlaksana, para anak-anak sudah pergi bersekolah sementara para orang tua berangkat bekerja. Di mansion Halley hanya ada Caden dan juga Andreas yang saat ini berwajah masam. Hanya dia yang tidak melakukan aktivitas bekerja. Padahal dia sangat ingin.
Namun keluarga Halley menolak keras dan berkata dia perlu berada di Mansion. Sedangkan Caden memang sudah menurunkan segala pekerjaan dirinya pada anak-anaknya. Dia akan turun tangan ketika hal-hal tak diinginkan terjadi.
"Eas, ingin puffin?"
Andreas menggeleng. "Tidak dad. Aku butuh bekerja."
Raut Caden berubah datar. "Kau belum sembuh total. Jangan menjawab, Ayah malas berdebat."
Andreas mendengus kasar. "Aku bukan anak kecil lagi." gumamnya menahan geram.
"Aku juga sudah lama sembuh. Mau sampai kapan aku ditahan?" Dia kesal, Andreas sangat marah. Sungguh, haruskah dia benar-benar kabur agar bisa bebas.
Dia sudah dewasa, tak pantas baginya diam di rumah padahal dia memiliki anak yang harus di nafkahi. Meski dia tak memiliki istri, namun dua putranya sudah cukup menjadi alasan dia berjuang dan bekerja.
Caden menghela nafas pelan. "Daddy anggap tidak mendengarkan apapun. Ayo ikut daddy kerumah teman."
"Teman?" nada Andreas berubah sumringah.
Bibir Caden berkedut menahan senyum geli. "Ya, mau ikut atau tidak?"
"Mau!" Andreas segera beranjak. Dia lupa bahwa tadi dia menahan kesal dan marah. "Tunggu aku daddy, aku siap-siap dulu."
「 Treated like a child 」
Mobil mewah berwarna hitam mengkilat yang di kendarai oleh supir pribadi Caden, terlihat memasuki gerbang tinggi sebuah Mansion.
Andreas yang duduk di samping Caden, menatap keluar jendela mobil. Merasa penasaran seperti apa teman sang Daddy yang ingin mereka temui.
"Kau ingat Samuel?" Caden membuka suara.
"Samuel? Tidak ingat, tapi kata Gabriel aku memiliki seorang teman dekat bernama Samuel."
"Oh iya. Tapi aku tidak mengingatnya. Apakah dia akan marah dad?" Dia menatap Caden penuh harap.
Caden terkekeh, menepuk kepala putranya dua kali dan menjawab. "Tidak akan marah. Tetapi, jangan bertingkah nakal didepannya."
Andreas mengernyit tak paham. "Nakal? Dad memperingatiku seolah aku anak kecil atau remaja."
Caden mengangkat bahu. "Dimata Daddy kau masih seperti balita."
"Dad!" seru Andreas tak terima.
"Berhenti berteriak, kita sudah sampai." Caden menunjuk kearah jendela mobil dengan dagunya.
Andreas segera menoleh. Ternyata mobil mereka telah sampai di halaman depan Mansion.
Andreas berdecih, dia pun membuka pintu mobil. Tapi sebelum dia berhasil melakukannya, pintu terbuka lebih dulu oleh penjaga dari luar.
Andreas bersungut, ketika dia berhasil keluar, dia berucap. " Paman pikir aku wanita sosialita?!" Dia tetap terima jika itu keluarganya, tapi ini orang luar, kan malu.
Niatnya dia harus keluar mobil secara gentle. Bukan malah di bukain gini!
Sang penjaga langsung membungkuk dalam. "Maafkan saya, Tuan."
Meski yang dia hanya melakukan tugasnya, tetap saja harus meminta maaf.
"Sudah, Eas. Kau sensitif sekali, itu hal yang biasa." tegur Caden, seraya menutup pintu mobil.
"Biarin." acuh Andreas membuang muka.
"Wow, lihat siapa yang datang."
Andreas dan Caden langsung menoleh kearah pintu utama Mansion. Dimana ada seorang laki-laki yang kini berjalan menghampiri mereka.
"Eas, bagaimana kabarmu?" Samuel mendekat dan ingin memeluk Andreas.
Namun Andreas segera membelot ke belakang Caden karena tak ingin di peluk oleh Samuel.
Tentu Samuel tak senang. Caden menghela nafas, padahal sudah diperingati olehnya bahwa tidak boleh nakal di depan Samuel.
"Kau tidak ingat pesan Daddy?"
Andreas tetap diam, menatap Samuel dengan tatapan menilai.
"Kau seperti kucing liar yang ketakutan." Samuel bersedekap dada. "Jahat sekali tidak mengingatku, padahal kau sendiri yang bilang sudah menganggapku sebagai seorang kakak."
"Aku juga sering menjengukmu saat di rumah sakit. Hanya saja, belakangan ini aku cukup sibuk sampai tidak sempat untuk berkunjung ke kediaman kalian."
Mendengar penuturan Samuel, Andreas tampak mengangguk-angguk samar. Sepertinya Samuel memang orang yang baik. Tidak seperti Kanza, anak-anaknya saja tidak tahu siapa dia.
"Jadi bukan Kanza ya?" Andreas memiringkan kepala. Dia memikirkan tentang Kanza. Lalu beralih menatap Caden, Andreas berkata. "Dad, tidak ada temanku bernama Kanza?"
Caden menggeleng. "Samuel, apa kau kenal seseorang yang bernama Kanza?"
Samuel tidak menjawab, hanya saja.. Wajah pria itu berubah tajam. Nafasnya memberat bersamaan langkah pelannya mendekati Andreas, menarik pria itu agar keluar dari persembunyiaannya.
"Katakan, dimana kau bertemu dengan baj*ngan itu?!"
Alis Andreas menukik tajam, tidak terima atas perlakuan Samuel. "Apa sih?! Kasar sekali! Lagi pula memangnya kenapa jika aku bertemu dia?!"
Tatapan Samuel semakin menajam. "Dia berbahaya, dan dia adalah seseorang yang harus kau jauhi." ucapnya penuh penekanan.
"Oh ya?" raut wajah Andreas berubah bingung. "Aku tidak ingat tentang kalian, bisa kau jelaskan?"
"Apa yang kau maksud, Samuel?" Caden menyela keduanya.
Samuel menghela nafas. "Lebih baik kita masuk kedalam. Aku akan menjelaskan detail siapa Kanza." Tatapannya bertemu dengan Andreas, segera dia menuntun temannya utnuk masuk kedalam Mansion. Caden mengikuti dari belakang.
Andreas yang berjalan di tengah-tengah keduanya, tampak menoleh kesana kemari. Menatap seisi Mansion Samuel yang begitu memanjakan mata.
Samuel yang melihat tingkah Andreas, segera menarik lengan sang sahabat dan membawanya duduk pada sofa diruang keluarga.
Karena Samuel justru sibuk memindai tubuh Andreas, karena merasa jika laki-laki itu semakin kurus. Caden dengan mandiri, memilih duduk pada sofa single seraya menatap keduanya.
"Jadi, sekarang kau sudah bisa menjelaskan siapa itu Kanza?" tanya Andreas tak sabaran. Sungguh, jika bukan temannya, kenapa Kanza bersikap sangat akrab padanya.
"Kanza adalah dalang dari kecelekaan yang menimpamu, Andreas."
Brak!
"Apaa?!" Caden menggebrak meja, dia berteriak mendengar kebenaran itu. "Kenapa kau tidak mengatakan semuanya dari awal padaku Samuel!!"
Samuel mengerti kemarahan Caden. Tetapi.. "Kanza orang licik paman. Kita tidak bisa langsung merengkusnya hanya karena mengetahui kebenaran tersebut."
"Aku sengaja tidak memberitahu paman karena menyelidiki latar belakang Kanza yang misterius. Semuanya tertutup rapi."
"Aku sudah mencoba untuk memojokkan dirinya. Namun tak ada bukti kuat karena semua bukti yang mengarah padanya sengaja dihilangkan."
Nafas Caden tampak memburu, bagaimana bisa ia sangat lalai. Sampai Andreas, bisa kembali bertemu dengan orang yang telah mencelakainya.Andreas terdiam bungkam, merasa syok akan kenyataan yang baru terungkap. Kenapa, ia sangat bodoh?
"Kau seharusnya mengatakan ini dari awal, Samuel. Agar aku juga bisa mengambil tindakan, ini semua menyangkut putra bungsuku!" geram Caden.
"Dad, jangan menyalahkan Samuel." sela Andreas. "Ini bukan saatnya untuk menyalahkan siapapun."
Samuel menyugar rambutnya dengan wajah tenang. "Paman tenang saja, pasti ada cara untuk menangkap rubah licik itu."
To be continued..

KAMU SEDANG MEMBACA
Treated like a child ( Slow Up )
Teen FictionCollaboration with @glummzz Menurut tuan dan nyonya Halley, putra bungsunya akan tetap menjadi bayi kecilnya. Bahkan ketika dia beranjak dewasa dan memiliki putra, Bungsunya tetap menjadi kesayangannya. Tidak teralihkan meski dia memiliki banyak...