Bab 7.

13.1K 1.2K 20
                                    

"Sudah puas mainnya?!"

Langkah Andreas terhenti, belum dia masuk kedalam. Caden menunggunya di pintu masuk Mansion. Wajahnya jelas menampilkan raut marah andalannya.

Bersedekap dada memandang Andreas tajam. "Keluar dari Mansion tanpa izin kami? Kau ingin sekali daddy hukum, Eas?"

Andreas menelan ludah gugup. Hilang sudah seluruh keberanian dirinya. Niat hati sudah mewanti-wanti diri untuk bisa melawan dan menjawab segala ucapan keluarga di perjalanan barusan.

Namun, jangankan melihat Caden sekarang dia sudah bergetar takut. Padahal, Andreas pikir dirinya sudah dewasa. Mungkin ini efek dari dia yang selalu dimanja sejak dulu.

"Apa yang kau tunggu? Cepat kemari!"

Bukannya menurut, Andreas justru menggeleng dan mundur satu langkah.

"Andreas." geram Caden.

"Tidak mau!" seru Andreas langsung, mengeluarkan aura permusuhan pada Caden.

Caden menghela nafas kasar. Memejamkan mata sebentar, mencoba meredam amarah agar tak menakuti si bungsu. Sejak kecil, jika Andreas berbuat salah pasti ia sendiri yang akan langsung merajuk. Tidak mau jika dimarahi ataupun dihukum.

"Kemari, Eas. Daddy tidak akan memarahimu." ujar Caden sedikit melunak.

"Sungguh?" Andreas pun mendekat tanpa ragu setelah memastikan jika dia tak akan dimarahi.

"Katakan alasan yang pas, Eas. Tergantung dari alasanmu, jika tidak masuk akal, daddy akan menghukummu."

Mendengar itu, Andreas ingin kembali menjauh namun Caden segera menahan tangannya.

"Dad, aku bosan, aku bosan hanya berdiam diri di Mansion." Andreas memelas, mencoba melepaskan tangannya. "Aku hanya pergi Mall, untuk sekedar berjalan-jalan. Rio juga ikut untuk menjagaku." lanjutnya lirih.

"Tapi bukan pergi secara diam-diam boy. Bagaimana jika kamu terluka atau seseorang melukaimu?!"

Andreas tanpa sadar mengerucut. "Memang siapa yang akan melukai pria dewasa sepertiku."

Caden menyentil sayang dahi Andreas. "Pria dewasa? Kau lebih terlihat seperti seorang remaja yang masih manja-manjanya."

"Apasih, Dad?!" Andreas melepas tangan Caden, berjalan masuk kedalam Mansion dengan ekspresi wajah yang tak mengenakkan.

Caden segera mengikuti, merangkul bahu Andreas dengan kuat. "Lihat, sekarang kau merajuk seperti Diego."

"Dad, hentikan!" seru Andreas kesal. Ingin menyentak tangan Caden dari bahunya namun tak bisa.

"Aku tidak merajuk, daddy saja yang merasa seperti itu. " Dia menjawab tak terima.

"Anak kecil pun tau bahwa temannya ini sedang merajuk." Terkekeh pelan Caden suka sekali menggoda putra bungsunya. Padahal niat awal ingin memarahi Andreas karena  keluar tanpa izin.

Andreas menyentak kasar tangan Caden. "Aku bukan anak kecil! Jangan berbicara padaku lagi!" kesalnya berlari pergi.

Esmira, yang berdiri tidak jauh dari sana dan memperhatikan dalam diam sedari tadi. Bersedekap dada dengan wajah garang.

"Kau benar-benar! Bukannya diberi hukuman agar Eas tak berani kabur lagi, malah mengganggunya sampai merajuk seperti itu!"

Caden mengangkat bahu acuh, ikut berlalu pergi sebelum kembali mendapat omelan dari sang istri.

「 Treated like a child 」

Andreas sedang nonton televisi. Acara menampilkan podcast tentang manusia sebenarnya adalah wujud lain simpanse.

Andreas menatap tak minat. Dia juga mengunyah keripik kentang malas. Andreas bosan, ingin keluar tetapi tidak diperbolehkan.

Dia sudah seperti anak perawan yang masih remaja.

"Hih, mengerikan." Andreas bergidik, merinding karena pemikirannya sendiri.

Esmira yang memperhatikan dari jauh, terkekeh geli dan segera menghampiri.

"Eas bosan ya?" Esmira mendudukkan diri di samping Andreas, mengusap sayang rambut halus si bungsu.

"Bosan, Mom. Mau keluar saja tidak boleh." jawab Andreas, yang lebih seperti mengadu. Namun sedetik kemudian, ia tiba-tiba berbinar saat sebuah ide cemerlang terlintas begitu saja.

"Sebentar lagi Gabriel dan Diego pulang, kan? Bagaimana jika aku saja yang menjemput mereka, Mom?" tawar Andreas, menatap Esmira penuh harap.

"Mereka juga pasti senang karena aku menjemput mereka, ohh!! Rencana yang bagus. Aku harus bersiap-siap." Andreas lekas beranjak tanpa menunggu jawaban Esmira. Laki-laki itu pergi secepat kilat sebelum mendapatkan penolakan.

Beberapa saat kemudian. Andreas mengeluarkan jurus kaki seribu untuk kembali menghindari Esmira, yang telah bersedekap dada menunggunya.

Esmira menghela nafas kasar, memilih membiarkan Andreas yang ingin menjemput kedua putranya.

"Bawa Rio bersama dan tidak boleh menyetir, atau Mommy akan mengadukanmu lagi pada Daddymu!!!" teriak Esmira.

"Okay, Mom!" balas Andreas ikut berteriak.

「 Treated like a child 」


"Diego, itu bukannya ayahmu ya?" tanya Kavin, menunjuk Andreas yang nyengir menatap mereka berempat.

"Mana, mana!! Oh-ayah!" Diego segera berlari. Dia masuk ke pelukan ayahnya ketika Andreas membuka lebar tangannya.

"Ayah menjemput kami?" seru Diego. Dia sangat senang ketika keluar dari karangan sekolah dan bertemu dengan ayahnya.

"Ayah bosan di rumah, jadi memutuskan untuk menjemput kalian." Andreas balas memeluk Diego. Ia kemudian beralih menatap Gabriel, yang bersedekap dengan wajah datar.

"Apa? Jangan menatap Ayah seperti itu."

"Ayah sudah mendapat izin dari kakek dan nenek?" tanya Gabriel langsung.

Andreas berdecak, ia pikir apa. "Tentu sudah." jawabnya sombong, seraya menyugar rambut kebelakang.

Gabriel tak percaya, kemudian dia menatap ke arah Rio di seberang jalan. Sedang memantik api untuk menghidupkan rokok.

"Ayah yang menyetir?"

Andreas semakin membusungkan dada. "Tentu.. Lihat, jangan samakan ayah seperti anak kecil lagi."

Diego yang mendengar itu langsung melepas pelukan. Sedangkan Gabriel, tersenyum remeh karena tahu sang Ayah berbohong.

"Bohong, kalau Ayah yang menyetir Paman Rio pasti sudah melapor pada kakek." ujar Diego dengan wajah polos.

Andreas langsung menepuk dahi, meringis malu karena kepolosan sang putra.

"Kalian berdua teman putraku, ya?" Andreas beralih menatap Kavin dan Dion. Melempar senyum pada keduanya, berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Iya paman, kenalin.. Saya Kavin, teman Gabriel."

Andreas langsung saja menjabat tangan Kavin. Dia yakin jika Gabriel merupakan anak yang percaya diri dan bisa diandalkan.

"S-saya Dion, teman Diego."

Nah, berbanding balik dengan Gabriel. Teman Diego mungkin tipe pemalu.

Andreas kembali tersenyum, dan ikut menjabat tangan Dion.

"Ayah, ayo pulang. Diego lapar." Diego memeluk lengan Andreas, melepas paksa jabatan tangan sang Ayah dan Dion.

Dion menjadi sedikit kikuk. Kavin yang mengerti, segera merangkul bahunya.

"Kau baru saja menghabiskan seporsi nasi goreng." saut Gabriel sinis.

Diego mendelik. "Biar! Ayo Ayah!" rengeknya lagi.

Andreas terkekeh geli, tangannya bergerak mengusap kepala Diego.

"Kavin, Dion, kami pulang dulu ya." pamit Andreas, yang dibalas anggukan sopan oleh kedua sahabat putranya.







To be continued...

Treated like a child ( Slow Up ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang