7 Two Versus One

33 5 35
                                    

Tidak ada jeritan, erangan sakit, atau bahkan darah yang mengalir.

Peluru yang semula melesat ke arah Vendetta tidak berakhir dengan bersarang di tubuhnya, melainkan memantul dan tergeletak tidak berdaya di atas aspal.

Tim terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi di depan matanya.

Dia harap dia salah lihat, tapi kejadian itu terasa begitu segar dan nyata di dalam ingatannya. Momen di mana peluru tersebut melesat ke arah gadis itu, hanya berjarak sekitar beberapa milimeter dari kulitnya, tampak siap untuk membunuh. Tapi begitu bersentuhan, peluru tersebut tertahan, gagal menembus permukaan kulitnya. Kemudian peluru tersebut jatuh satu persatu, bagaikan sebuah kerikil kecil yang dilempar oleh tangan.

"Robin, apa kau lihat apa yang kulihat!?" Barbara terdengar tidak percaya.

Tim tidak merespon, tapi pikirannya berhasil menarik sebuah kesimpulan.

"Kau ... metahuman," ucapnya teliti dan hati-hati.

Vendetta mengangguk. "Tentu saja, dan peluru seperti itu tidak akan pernah bisa melukaiku," jawabnya, mengkonfirmasi dengan nada angkuh.

Dia menyeringai sambil membuat sebuah pose pistol dengan jari telunjuk dan tengah, dia mengarahkan jarinya pada pelipis dan berkata 'dor' tanpa suara, berakting seolah dia sedang bunuh diri dengan menembak kepalanya. Lalu dia tertawa kecil bagai orang sinting, seolah itu adalah candaan yang lucu, sebelum akhirnya menolehkan kepala ke arah seorang polisi yang beberapa detik lalu memiliki cukup nyali untuk menembaknya.

Sang polisi terkesiap, bulu kuduknya merinding begitu sepasang mata berwarna emas tersebut tertuju dan menyorot tajam ke arahnya. Dia meneguk liur, menatap gadis itu dan pistolnya secara bergantian. Dia kebingungan, tidak bisa memproses apa pun dalam otaknya. Yang bisa dia lakukan hanya menahan rasa takut sambil terus menembakkan pistolnya dengan gegabah hingga peluru yang ada di dalamnya habis. Tapi tidak ada satu pun yang berubah, belasan peluru yang ditembakkan lagi-lagi tidak berefek, hanya melesat, memantul, dan jatuh ke tanah.

Vendetta mencibir, dia memicingkan mata pada polisi tersebut lalu mulai melangkahkan kaki secara perlahan ke arahnya. Bagaikan melihat malaikat pencabut nyawa, polisi tersebut tanpa sadar menjatuhkan pistolnya dan segera berlari terbirit-birit dari sana.

"Pengecut," ucap gadis itu tidak selera.

Tim tidak berkedip melihat adegan di depannya. Dia terkagum, dia terkejut, tapi dia juga tidak habis pikir. Peluru tersebut benar-benar tidak bisa melukainya, seolah dia tidak bisa mati. Tidak hanya Tim, Bruce juga merasakan hal yang sama. Dia tidak pernah menduga kalau orang yang selama ini mereka dia incar adalah metahuman---dia sangat ahli menyembunyikannya.

Tapi, tidak ada waktu untuk terpana. Daripada diam membatu, Bruce memutuskan untuk bergerak cepat dan memanfaatkan fitur yang ada di Batmobile miliknya. Pria itu menarik tuas, lalu memencet beberapa tombol rumit yang berjajar di hadapannya. Vulcan Gun, sebuah senapan mesin berlaras enam, muncul dari bagian depan kap mobil yang terbuka, ujungnya berputar dan terarah pada gadis yang sedang berdiri di tengah kekacauan.

"Bruce!" Suara Barbara terdengar panik melalui earpiece.

Vulcan Gun bukan senjata kecil seperti pistol polisi tadi, itu adalah senjata level lain berupa senapan mesin yang biasa digunakan di dunia militer. Bruce sendiri menggunakannya untuk menghancurkan segala rintangan yang menghalangi laju Batmobile, seperti bangunan atau bahkan kendaraan lain sekali pun. Dia bahkan pernah menggunakannya untuk menghancurkan kapal, kekuatan penghancurnya benar-benar luar biasa.

"Tunggu, Batman!" Tim berseru, tidak yakin dengan tindakannya.

Bruce tidak mendengarkan. Daripada bertanya---yang kemungkinan besar tidak akan dijawab dengan benar oleh gadis itu, dia lebih memilih untuk beraksi lebih dulu demi menguji teori berkemungkinan besar yang ada di dalam kepalanya.

Robin: VendettaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang