Target yang sama. Orang-orang yang lemah, orang-orang yang tahu kalau mereka memihak kebusukan tapi tetap melakukannya secara sukarela, seolah mereka tidak punya pilihan lain. Vendetta tidak mengerti kenapa mereka mau-mau saja menjadi budak wanita itu, atau budak semua bajingan yang memiliki kedudukan serta kekuasaan, orang yang gemar menggunakan otak pintar mereka untuk melakukan hal mengerikan pada orang lain. Padahal, kalau mereka menggunakannya untuk hal baik, mereka bisa mengubah dunia, mereka bisa menjadi pahlawan.
Belati-belati, darah yang menetes, tubuh yang mendingin. Gadis itu berjalan di lorong menuju tujuan berikutnya demi melanjutkan aksi balas dendam. Sejak kedatangannya ke tempat ini, Black Water masih belum mengirimkan pasukan atau seseorang untuk menghentikannya. Entah apa yang mereka rencanakan, mulai dari rela mengorbankan nyawa anggota, meledakkan tempat demi tetap menjadi misterius di pandangan dunia, hingga secarik kertas yang dikirim untuk 'mengundang' dirinya. Jebakan apa pun itu, dia tidak peduli. Hari yang dia nantikan adalah hari di mana dia menggunakan pedangnya untuk memenggal kepala wanita tersebut.
Sekarang, di cengkeraman tangannya ada seorang pria berjas putih yang gemetar ketakutan, nyaris mengencingi dirinya sendiri. Genggaman pada kerahnya begitu kuat, membuat pria itu kesulitan bernapas, seolah memberitahu kalau dia menggenggam kendali atas hidupnya.
"Di mana dia!?"
Vendetta berseru, tatapannya nyalang. Pria yang ada di cengkramannya bukan pria biasa, setidaknya dia tahu apa yang akan Black Water rencanakan selanjutnya dalam projek tidak berperikemanusiaan yang sedang mereka jalankan. Tapi, lawan bicaranya itu justru terus membungkam mulut rapat-rapat. Tampaknya kesetiaan yang dia miliki terhadap wanita bernama Shawn itu jauh lebih besar daripada keinginannya untuk hidup.
"Jawab aku, di mana Shawn!?" Vendetta kembali berseru, cengkeramannya menguat.
Detik selanjutnya, gadis itu menciptakan sebuah belati di tangan, jari-jarinya yang diselimuti aksesoris berbentuk cakar tajam berwarna hitam menggenggam belati tersebut erat-erat. Dia mengarahkan ujung belati itu pada leher sang pria. Pergerakannya penuh ancaman dan bahaya.
"A-aku ...." Pria itu terbata-bata, merasa hidupnya berada di ujung tanduk.
Vendetta mulai tidak sabar. "Aku tidak akan bertanya dua kali," katanya.
Ujung belati menyentuh permukaan leher pria tersebut. Terasa dingin dan mematikan. Perlahan mengiris kulitnya, membuat darah mulai menetes, mengotori jas putih yang dia kenakan. Pilihan yang dia miliki hanya satu, menjawab pertanyaannya atau mati di tangannya.
"Vendetta, kau harus hentikan ini!"
Gerakan Vendetta seketika terhenti saat suara yang sangat dia kenali tiba-tiba terdengar dari jauh, suara yang kadang muncul dalam mimpinya, mimpi penuh harapan yang muncul di tengah-tengah mimpi buruk. Gadis itu sontak mendongakkan kepala, mata emasnya mengerjap. Hal yang terjadi selanjutnya adalah kaca yang pecah berkeping-keping dan Tim yang meluncur ke arahnya dengan sangat cepat lalu mendarat tidak jauh di hadapannya.
"Robin."
Vendetta mendengus tidak suka akan kehadirannya yang tidak diundang, tapi dia tidak sedikit pun bergerak di tempatnya berdiri. Tangannya tetap kukuh menyandera pria berjas putih tersebut, ancaman masih terdengar sangat jelas dari suaranya yang kasar.
"Kau harus hentikan ini." Tim mengulangi perkataannya, dan dia sama sekali tidak bercanda.
Ada sedikit nada pahit dalam suaranya, seolah berusaha menahan sesuatu yang tidak ingin dia rasakan selama ini. Dia sudah cukup muak melihat mayat-mayat yang ada di sekitarnya dan dia tahu kalau tidak hanya pria tersebut yang menderita, gadis itu juga tidak punya banyak pilihan. Mendengarkannya atau melanjutkan aksi dan membuat dirinya terpaksa dijatuhkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Robin: Vendetta
FanfictionBagi penjahat, menyelamatkan vigilante bukan hal yang bagus. Bagi vigilante, tertarik dengan penjahat juga bukan hal yang bagus. Tim tertangkap, tidak ada jalan keluar, dan satu-satunya orang yang datang untuk menolongnya adalah seorang gadis yang...