BAB 4

8 2 0
                                    

Kata orang, kalau bertemu dengan orang yang gak kita kenal secara berturut turut, itu jodoh.


"Lo pulang naik apa, Na?" tanya Zaka saat suara bel berbunyi dan mereka pun mulai mengemasi barang barangnya masing masing. Pak Tagor yang mengajar jam pelajaran terakhir juga sudah pergi keluar tidak tahu kemana.

"Biasa." jawab Yana, lalu gadis itu menyandang tas nya.

"Ga bareng aja gitu?"

"Emang muat?" seketika Zaka terdiam. Benar juga, dia baru menyadari bahwa hari ini dia bawa motor bukan mobil.

"Lain kali aja, tapi makasih ya." kata Yana tersenyum pada Zaka dan Zumi yang baru selesai memasukkan semua barangnya di dalam tas nya.

"Aku duluan ya."

"Awas ketemu kak Maha lagi." suara Zumi menghentikan langkah Yana yang baru saja melangkahkan kedua kakinya.

"Gak akan." ujar Yana.

"Kata orang, kalau ketemu sama orang yang gak kita kenal secara berturut turut itu jodoh." bisik Zumi lalu melangkah pergi keluar dengan sisa kekehannya. Dan kini, tinggalah Yana dan Zaka yang saling menatap.

"Gak perlu percaya sama Zumi, anaknya memang gitu. Kebanyakan dengar omongan tetangga jadi gitu." kata Zaka.

Yana mengangguk pelan "iya."

"Gua duluan ya?" kata Zaka dan diangguki Yana. Dia pun ikut melangkah keluar kelas dengan langkah pelannya. Di depannya ada punggung lebar Zaka yang jaraknya dari dia hanya sekitar dua meter saja. Sementara Zumi, dia tidak tahu gadis itu kemana.

Yana melewati setiap lorong dengan langkah pelan, sesekali dia menatap kearah arlojinya kemudian kearah lapangan yang masih di penuhi anak basket dan ketua osis itu. Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul tiga dan itu artinya semua murid diperbolehkan pulang bukan.

Yana melewati parkiran yang mulai kosong itu, tidak seperti tadi pagi dan mulai menyebrangi jalanan yang cukup ramai dan padat itu. Di depannya ada halte yang sudah banyak di penuhi orang orang, termasuk dirinya.

Namun, ada yang aneh saat bola matanya menatap seseorang ada diantara orang ramai itu. Seorang laki laki duduk dengan jaket kulit hitamnya dan saat Yana melihat kearah motor besar yang terparkir di samping halte, dia akhirnya sadar bahwa itu adalah Maha. Laki laki itu duduk di halte tempat dia sering menunggu bus.

Perkataan Zumi tadi, saat berada di kelas muncul dalam ingatannya. Sontak dia menggeleng pelan dan lanjut menyebrangi jalanan itu dengan hati hati. Dia melangkah mendekati halte yang sedang ramai itu dan memilih berdiri di ujung halte menunggu bus yang akan datang membawanya pulang.

"Kak Maha, boleh bagi nomornya nggak?"

"Kak Maha, sudah punya pacar belum?"

"Kak Maha ngapain ya kesini?"

"Kak Maha genteng banget, gak kuat!"

Itu adalah suara orang orang yang memuji seorang Maha. Dan laki laki yang di puji itu hanya diam dengan pandangannya fokus ke depan, ke gedung sekolah Mendrova.

Sedangkan Yana, gadis itu mulai tadi sudah mendelik sinis, heran dan juga bingung. Telinganya juga mulai gatal, sepertinya tidak terima karna mendengar pujian mereka kepada Maha yang terlalu berlebihan, menurutnya. Dia heran, apa yang harus dibanggakan dari seorang Maha. Hanya parasnya saja. Selain itu tidak ada dan itu menurutnya lagi.

Dari arah berlawanan, mereka melihat seorang Wardi keluar dari dalam gedung, menyebrangi jalanan itu dan berhenti tepat di depan Maha yang sudah berdiri dari duduknya. Keduanya pun saling menatap, melempar tatapan yang sulit dimengerti, karna hanya mereka yang mengerti arti tatapan itu.

"Oke, balapan semalam bakal di ulang."

"Harus." suara Maha terdengar tegas dan jangan lupakan tatapannya yang menyorot tajam.

"Tapi ada syaratnya." kata Wardi, menghiraukan kerutan di dahi Maha, dia tahu laki laki pasti heran sekaligus bingung.

"Kalau gua menang, lo harus denda lima juta dan jangan pernah lagi datang lagi ke sini."

"Takut banget lo ternyata." kekeh Maha kecil, sangat kecil bahkan dan itu membuat orang orang yang masih berada di situ berteriak histeris, berdecak kagum dan akhirnya senyum senyum sendiri. Tapi berbeda dengan Yana, gadis itu hanya diam menatap keduanya yang sedang dikelilingi oleh orang orang itu dari jauh.

"Deal nggak?"

Maha mengangguk mengerti "tapi kalau gua menang, lo harus kasih gua sebaliknya."

"Oke." kata Wardi.

Maha menatap Wardi begitu intens lalu memperlihatkan senyuman smirk nya sekilas, kemudian melangkah mendekati motornya, menaikinya dan melajukannya membelah jalanan yang cukup ramai itu. Meninggalkan halte yang masih ramai dan padat itu. Dia akan ke rumah sakit, menjenguk kakaknya yang sudah satu tahun sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Reni namanya, mengidap penyakit Leukemia.

Bus tiba, Yana yang melihat itu segeran naik dan mengambil tempat duduk dekat jendela. Dia sangat menyukai tempat dimana dia akan melihat kearah luar dengan angin yang akan meniup wajahnya dan menghembuskan rambutnya yang selalu dia ikat satu. Namun, saat ini rasa sukanya duduk di dekat jendela bertambah, alasannya yaitu agar dia bisa melihat Maha dengan motor besarnya, membelahi jalanan lebar itu dengan parasnya.

Seperti saat ini, motor Maha tepat berada di sebelahnya menatap lurus ke depan dengan helm hitam yang menutupi wajahnya serta kepalanya, tapi itu sama sekali tidak  mengurangi ketampanannya. Laki laki itu semakin memukai bagi Yana. Melihat laki laki itu, Yana tersenyum tipis dibalik gorden yang menutupi setengah jendela kaca bus itu. Dia belum berani menatap laki laki itu secara terang terangan. Katakan lah dia pengecut, karna memang kenyataannya seperti itu. Dia sudah menyadari bahwa dirinya menganggumi laki laki itu sejak pertama kali dia bertemu dan berteduh bersama di halte kemarin.

Bus berhenti, begitu juga motor Maha. Ternyata mereka sedang berada di lampu lintas, menunggu lampu itu berubah menjadi hijau. Sambil menunggu lampu itu akan berubah, diam diam dan pelan pelan Yana melirik kesebelahnya, memandang Maha dari samping, kemudian tersenyum tipis saat laki laki itu terlihat bergerutu kesal dan sepertinya dia sedang terburu buru karna dia melihat Maha berulang kali melihat jam tangan yang melingkar di tangan kanannya.

Lampu yang tadinya merah kini berubah menjadi hijau, bus yang ditumpangi Yana pun berjalan lurus, namun berbeda dengan Maha. Laki laki itu membelok ke sebelah kiri, saat persimpangan, membuat Yana mendengus kesal dan merosotkan sedikit badannya di tempatnya. Dia membuka gorden kaca bus di sebelahnya cukup kasar dan terasalah angin yang langsung saja mengenai wajahnya.

Kenapa tidak harus searah? Batinnya sedikit dongkol juga kesal.

Dia menegakkan kembali tubuhnya yang sedikit merosot tadi lalu menghembuskan nafasnya cukup kasar. Halte di didekat rumahnya akan terlihat membuat gadis yang selalu mengikat satu rambut sebahunya itu tersenyum senang. Dia suka pulang, sangat suka. Baginya pulang adalah hari istirahatnya, bertemu dengan ibu dan kedua adiknya adalah bonus.

Bus pun berhenti, Yana pun bergegas turun setelah itu berdiri di halte yang cukup sepi itu, membiarkan bus itu kembali berjalan dan secara bersamaan itu juga sebuah motor melintas begitu cepat di depan Yana. Yana tahu itu motor siapa. Motor hitam V-Xien  saat pertama dia bertemu dengan laki laki yang bernama Mahantan itu.

Iya, laki laki itu baru melewatinya begitu saja. Tanpa ada menatapnya bahkan meliriknya sebentar selang sedetik pun tidak.


*******

MAHANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang