BAB 5

10 2 1
                                    


Suara bel berbunyi, tepat pada pukul sebelas kurang. Jam istirahat pertama akan di mulai sekitar lima belas menit. Pak Tagor yang mengajar di ruang kelas Ips 2 pun melangkah pergi dengan buku tebal ada di tangannya. Dan jangan lupakan juga kacamata yang bertengger di batang hidungnya.

"Lo tahu nggak sekolah kita mau turnamen basket sama sma jaya." kata Zumi di dekat Yana. Dia menatap gadis itu yang sedang mengemasi alat alat tulisnya.

"Kapan?" tanya Yana, seputar hanya bertanya, dia tidak penasaran.

"Kurang tahu juga sih, katanya minggu depan atau minggu ini." jawab Zumi.

"Oh." Yana mengangguk mengerti dan berbalik badan, bangkit berdiri dari duduknya. Namun, seolah dia mengingat sesuatu, dia pun menoleh kembali lagi ke Zumi.

"Anak basket SMA Jaya siapa aja?" tanya Yana, gadis itu kembali duduk di ditempatnya menatap Zumi yang sudah menampilkan raut keheranannya.

"Tumben?"

"Kenapa?" kini Yana yang heran. Kerutan di dahinya jelas terlihat.

"Ya penting kak Maha gak ada, lo mau tahu itu 'kan?" tunjuk Zumi dengan senyuman ledekannya.

"Apaan sih, enggak." elak Yana namun berbeda dengan ekspresi wajahnya yang menahan senyum.

"Bilang aja iya, susah amat." ledek Zumi, mengalihkan pandangannya dari Yana lalu berdiri di susul Yana.

"Lagian ni ya, gua liha lihat juga kak Maha kek nya suka sama lo."

"Ngaco." sahut Yana. Dia menolak untuk penyataan Zumi. Bagaimana bisa perempuan itu mengatakan seperti itu. Padahal, mereka hanya bertemu hanya satu kali saja, itu saja saat tiga hari yang lalu.

"Gua serius."

Yana berdehem kecil, terlalu malas untuk merespon. Dia fokus menatap ke arah depan, lurus menyelusuri koridor sekolah dengan bayang bayang wajah Maha yang selalu melekat di pikirannya sejak kejadian di halte itu.

Dia rindu laki laki itu. Tapi, dia juga tidak ada hak untuk itu.

"Kak Zumi!!"  suara keras yang melengking di sepanjang koridor itu terdengar membuat Zumi maupun Yana berbalik badan, menatap adik kelas berlari kearah mereka.

"Kenapa?" tanya Zumi kepada adik kelas mereka itu.

"Itu, kak Zaka berantem." jawab adik kelas yang bernama Enjel itu. Dia menunjuk kearah belakang sekolah yang berada di sebelah kiri mereka.

"Hah? Dimana?"

"Di belakang kak." jawabnya dengan deru nafasnya yang terasa terhambat.

Zumi menoleh sebentar ke Yana dan berlari cepat ke arah belakang sekolah mereka, Yana ikut berlari di belakangnya meninggalkan kini adik kelas itu yang terdiam kaku di tempatnya. Dirinya masih shok atas kejadian yang dia lihat barusan, dimana Zaka dibantai habis habisan oleh Bastian dan Lukas yang notabenya adalah anggota osis. Terutama teman Wardi, ketua osis dan ketua basket.

"Zaka!!" 

Teriakan Zumi yang terdengar melengking sesampai di belakang sekolah membuat kedua laki laki yang bernama Bastian dan Lukas itu pun berhenti dan menoleh kebelakang mereka dengan jaraknya yang tidak jauh. Zumi dan Yana berdiri bersampingan. Keduanya sama sama kaget melihat bringasnya Bastian dan Lukas yang memukuli Zaka tanpa ampun.

"Lo apa apaaan sih??" Zumi berlari ke Zaka membantu kembarannya itu untuk berdiri. 

"Kembarannya udah datang." kata Lukas seakan meledek, lalu keduanya tertawa.

Zumi memapah Zaka berdiri, setelah itu menatap Bastian dan Lukas sengit, dan tiba tiba sebuah tamparan melayang tepat dibagian wajah Bastian. Itu adalah tangan kiri Zumi.

"Banci lo!" katanya, dengan tatapan tajamnya. Zumi berbeda hari ini, gadis itu yang biasanya ceria, kini berubah, sangat meyeramkan.

"Kurang ajar lo!" Bastian memegang pipinya yang barusan ditampar oleh Zumi. "Lo belum tahu gua, cupu?"

"Siapa emang lo yang berhak gua tahu, hah?" balas Zumi tak ada takut takutnya. Berbeda dengan Zaka yang sudah was was atas keberanian kembaraannya itu. Begitu juga Yana. Gadis itu masih berdiri sendiri di belakang menatap mereka. Saat tahu ini akan menjadi serius, dia pun melangkah pergi dari situ. Dia akan memanggil guru.

"Eh tukang buku, culun, lo gak usah ikut campur ya urusan kita. Urus aja tu buku buku lo sama kembaran lo ini yang tidak berguna ini." tunjuk Lukas ke Zaka yang sudah mengeluarkan darah segar di bibirnya. Setelah itu dia meludah ke samping.

"Lo-"

"Kalian ngapain?!!" suara berat terdengar membuat keempatnya menoleh, ternyata pak Tagor dengan Yana di sampingnya.

"Bastian Lukas!!" suara pak Tago terdengar keras dan tatapannya yang menghunus ke Bastian dan Lukas. "Ikut saya!!"

Bastian dan Lukas terdiam, sama sama menoleh sebentar ke Zumi dan Zaka lalu berjalan mengikuti pak Tagor yang melangkah duluan. Tapi, sebelum itu melewati Yana, keduanya menatap Yana dari bawah sampai atas dan Lukas yang berbisik pelan tepat disamping Yana 

"Tunggu giliran lo." katanya dan berlalu pergi dari situ. Sedangkan Yana, dia membeku, dadanya berdetak lebih, pasokan pernafasnya seolah berhenti, dia gemetar. Jujur, dia memang bingung apa maksud laki laki itu, tapi dia takut.

"Na, tolong bantu gua dong bawa ni anak ke Uks." suara Zumi yang mendekat menyadarkan Yana, dia mengangguk kaku dan membantu Zumi memapah Zaka. Yana di sebelah kanan dan Zumi di sebelah kiri.

"Benar benar biadab itu anak, kenapa coba lo bisa dikeroyok mereka dua?" suara Zumi sepajang koridor terdengar tanpa henti. Gadis itu benar benar kesal ternyata.

"Lo juga, kenapa cuman diam aja. Kenapa lo gak lawan? Kalau di rumah lo sok belagu, sok gaya, giliran gini, cemen banget sih lo." oceh Zumi seolah belum capek akan suara cemprengnya yang mulai habis. Sedangkan Yana dan Zaka hanya diam saja, terlalu malas untuk menyahut.

"Lain kali-"

"Udah napa lo ngocehnya, sakit ini." suara Zaka terdengar, dia menatap Zumi dari samping "gua udah sakit tambah sakit ni karna dengar suara lo."

"Eh gua gini gini karna peduli sama lo, dasar kembaran gak tahu diri!!"

"Nanti aja lo ngocehnya Zum, sumpah ini sakit banget!!" Zaka meringis ngilu saat tak sengaja menyentuh bibirnya yang terluka.

"Rasain."

Ketiganya pun tiba di Uks dan untungnya para UMR masih ada dan mereka langsung memeriksa Zaka. Sedanglan Zumi dan Yana menunggu di luar, duduk di tempat duduk yang sudah disediakan di depan ruangan itu. Zumi yang masih kesal hanya mengoceh tak jelas sedari tadi, jika diibaratkan sebagai kartun, pasti di atas kepalanya ada asap dan Yana yang sedari tadi terdiam dengan tatapannya mengarah ke depan, pintu Uks namun pikirannya dipenuhi dengan suara Bastian. Perkataan laki laki itu membuat dia tak bisa fokus. Jujur, dia takut.

"Bagaimana?" tanya Zumi saat salah satu UMR itu keluar dari ruangan itu. 

"Kak Zaka udah di obati kak, lukanya juga sudah di bersihin. Kakak bisa lihat kak Zaka kok." jawab perempuan itu, dia menampilkan senyuman manisnya kepada Yana dan Zumi setelah itu berlalu dari situ.

"Ayok Na!" ajak Zumi ke Yana. Gadis itu mengangguk pelan lantas berdiri mengikuti langkah Zumi yang pelan pelan memasuki ruang Uks itu.


*******

MAHANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang