BAB 15

2 2 0
                                    

Yana melangkahkan kedua kakinya memasuki kawasan sekolahnya yang kini sudah ramai berkumpul di lapangan untuk melakukan aktivitas setiap pagi, yaitu melaksanakan apel pagi.

Hari ini dia sedikit terlambat untuk datang ke sekolah karna adiknya, Fedi mengantar lebih dahulu Dika karna Dika sedang melakukan ujian harian. Jadilah dia menjadi seperti ini, berbaris dibarisan belakang barisan kelasnya.

"Lo sudah sembuh?" tanya Bastian tiba tiba berdiri disamping Yana, memberikan tatapannya seperti meremehkan. Laki laki itu memandang Yana dari bawah sampai atas, seolah sedang meneliti.

"Hebat juga lo, masih bertahan." kata Bastian dan diakhiri kekehan kecil dari mulutnya.

"Maksud kamu?" kening Yana mengkerut menandakan bahwa dia tidak mengerti apa maksud laki laki di sampingnya.

"Lo-"

"Kalian ngapain malah ngobrol? Itu, dengar arahan di depan!" suara sentak seorang wanita terdengar, bu Yuli, guru sejarah itu melangkah mendekati Yana dan Bastian.

"Udah terlambat, ngobrol lagi." katanya dari belakang Yana dan Bastian berdiri.

Yana melihat kearah bu Yuli, wanita itu sudah pergi kearah barisan kelas lain, lantas Yana melirik Bastian yang masih berdiri disampingnya, menghadap sepenuhnya kearah laki laki itu.

"Maksud kamu apa sebenarnya?" tanya Yana dengan suara sedikit mengeras karna suara mic didepan sana sedari tadi tidak berhenti mengeluarkan bunyimya.

"Gua kira lo lumpuh." ujar Bastian, datar.

Yana menyerngit heran "Lumpuh?"

"Ternyata nyawa lo gede juga, ya." kekeh Bastian pelan. Lalu dia mengalihkan tatapannya kearah depan, kini yang bersuara menggunakan microfon itu adalah seolah laki laki, pak Halim namanya.

"Kamu-" ucapan Yana terpotong ketika Bastian menoleh kearahnya, memberikan tatapan tajam, dan seperti tatapan mematikan.

"Siapa yang ganggu gua, maka orang itu akan berurusan sama gua." kata Bastian dengan suara beratnya "Termasuk lo."

Yana terdiam. Derup jantungnya kini berdetak lebih cepat, keringat dingin mulai menelusuri tubuhnya, dia mengepal kuat kedua tangannya yang berada di sisinya dan langsung saja menyerang Bastian secara bertubi tubi.

"Kamu jahat banget sih!!"

"Kamu!!"

"Apa salah ku hah? Apa?!"

"AKU BENCI SAMA KAMU!!"

Suara serta pukulan Yana yang tak pernah berhenti pada Bastian sontak mengundang perhatian. Kini semua murid bahkan semua guru yang hadir kini menatapnya lalu berlari mendekati Yana dan Bastian.

"Lo apa apaan sih? Sinting lo ya." Bastian menjauh, dia menyerngit heran melihat bagaimana ternyata gadis yang baru dia ketahui namanya sudah menjerit histeris.

"Yana tenang, Yana." itu adalah suara bu Yuli, dia memeluk Yana erat agar berhenti memukuli Bastian yang berdiam diri didepannya.

"DIA JAHAT BU! DIA JAHAT!" teriak Yana lagi, kali ini lebih histeris.

"DIA YANG MENCELAKAI YANA BU!! DIA!" tubuh Yana meluruh ke bawah, dia tak kuasa lagi menahan tubuhnya dan untung saja bu Yuli langsung mendekapnya lebih erat lagi.

"Dia jahat bu." lirih Yana dan akhirnya gadis itu menutup kedua matanya. Yana pingsan untuk pertama kalinya.

"Tolong bawa ke uks." pinta bu Yuli kepada salah satu muridnya.

"Dan kamu." tatapan bu Yuli mengarah ke Bastian "ikut ibu."

"BAJINGAN!" tiba tiba dari arah berlawanan Zaka datang dan langsung memukul Bastian membabi buta, tanpa ampun dan sontak itu kembali kericuan.

"Lo brengsek banget anj*ng!" gertak Zaka, dia menarik kerah seragam Bastian yang terkulai lemas di aspal lapangan itu dan memberikan sekali lagi pukulan di suduh bibir laki laki itu.

"Zaka sudah!" larai bu Yuli dan tak lama pak Halim pun datang.

"Kalian berdua ikut saya ke ruang bk." tegas pak Halim, guru yang mengajar dibidang olahraga itu. Dia terkenal galak dan tegas membuat hampir seluruh murid takut padanya.

"SEKARANG!" 

Zaka dan Bastian saling menatap sebentar, lalu melangkah mengikuti pak Halim yang berjalan pelan di depan mereka. Sementara Yana, gadis itu sudah dibaringkan di brankar uks dan ditemani oleh Zumi.

Sedari tadi Zumi tidak henti untuk tidak menatap Yana. Dia sangat khawatir melihat kondisi Yana, dia juga bimbang apakah dia harus memberitahukannya kepada Ana, ibu Yana. Tapi, setelah dipikir lagi, tidak perlu.

"Yana, bangun dong." suara Zumi terdengar saat dia melihat kedua bola mata Yana yang tertutup itu bergerak sekilas.

Suara dering ponsel yang berada di atas nakas, disampingnya berbunyi. Dia menoleh dan mengambil benda kecil itu. Ternyata ponsel Yana dan yang memanggil adalah Mahantan sendiri.

Zumi menatap Yana yang masih enggan untuk bangun, wajah gadis itu juga cukup pucat. Dia bimbang apakah dia harus mengangkat panggilan Mahantan. Lagipula, kenapa laki laki itu menelpon Yana.

Zumi menghela nafas sebentar, setelah itu menekan ikon hijau dan mulai meletakkan ponsel Yana di telinga sebelah kanannya seraya terus memandang kearah Yana.

"Halo."

"Halo, ini siapa?"

Zumi terdiam sebentar, dia terkesima saat suara Mahantan terdengar dibalik sana dan dia dibuat heran sekaligus kaget kalau laki laki itu ternyata sangat mengenali suara Yana?

"Gua Zumi."

"Yana kemana?"

Zumi kembali diam. Dia mengkerutkan keningnya, menjauhkan sebentar ponsel itu dari telinganya lalu mendekatkannya lagi.

"Ngapain nyariin Yana?"

"Lo tinggal jawab susah ya?"

Zumi terdiam. Dia mendengus kesal lalu bangkit berdiri dari duduknya, berjalan sekitar lima langkah menjauh dari Yana.

"Yana pingsan, sekarang gua lagi di uks nemenin dia." kata Zumi dan setelah mengatakan itu tanpa diduga Mahantan mengakhirinya panggilannya.

"Aneh banget ni cowok." katanya dan berbalik mendekati Yana lagi. Meletakkan kembali ponsel Yana diatas nakas dan kembali duduk.

"Apa jangan jangan Mahantan suka ya sama Yana." gumannya sendiri. Namun, dia menggeleng geleng lagi "Tapi gak mungkin secepat itu 'kan?"

Zumi menatap Yana, menelisik setiap wajah pucat Yana. Dia heran kenapa sampai saat ini Yana belum sadar. Dia semakin cemas, apakah dia harus membawanya ke rumah sakit.

"Lo kenapa sih Yana." lirihnya dan mengambil tangan Yana, menggenggamnya cukup erat.

"Apa gua harus bawa lo ke rumah sakit?" monolognya, dia benar benar bingung sekarang.

Pintu terbuka tiba tiba, dia menoleh menatap Zaka yang baru saja masuk dengan keadaan wajahnya yang sedikit lembam. Laki laki itu menatap Yana prihatin lalu ke Zumi.

"Gimana keadaan Yana?" tanya Zaka

"Ya gitu. Lo sendiri gimana?" tanya Zumi

"Gua diskorsing."jawab Zaka

"Gilak lo ya!! Habis lo nanti dimarahi mama." kaget Zumi, dia tidak habis pikir dengan keadaan nasib kembaraannya itu sekarang.

"Lo jangan bilang dong."

"Gabisa." Zumi menggeleng "Gua tetap bilang mama."

"Lo mau gua dipukul papa?"

"Itu derita lo."

"Plis tolongin gua kali ini."

"Kali ini lo bilang?" tatapan Zumi melotot menatap Zaka "Ini sekian kali ya."

"Yaudah ini untuk terakhir kali. Ya? Ya? Ya?" Zumi diam, enggan untuk menjawab apalagi menatap lagi ke Zaka.

"Zumi." tatapan memelas Zaka keluar membuat Zumi tak bisa untuk tidak menolak dan pada akhirnya dia berdehem kecil saja sebagai jawaban.

"Lo memang kembaran gua yang paling baik sejagat bumi." cengir Zaka.

*******

MAHANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang