Maha melangkah cukup cepat menyulusuri koridor rumah sakit di sore hari itu dengan masih memakai seragam sekolah di tubuhnya. Dia habis dari sekolah SMA Mendrova, iya, dia datang kesana sebenarnya tujuannya adalah ingin melihat keadaan gadis yang bernama Yana itu. Namun, sepertinya gadis itu belum pulih dan tidak sekolah.
"Sus, atas nama Ariana Alktur Nicole dimana ya?" tanya Maha setiba di depan resepsionis itu.
Tidak ada yang salah, dia hanya ingin menjenguk perempuan itu lalu menyampaikan rasa terima kasihnya. Itu saja. Tidak lebih.
"Yana? Yang kecelakaan itu?" tanya wanita berambut sanggul itu.
Maha mengangguk sekilas "iya."
"Sudah pulang mas, barusan. Katanya gak suka lama lama di sini." jawab wanita itu ramah.
Maha terdiam sejenak lalu "Lukanya memang sudah sembuh?"
"Lumayan mas." jawab wanita itu, senyuman ramahnya masih dia tampilkan walaupun sedari tadi Maha yang berada di depannya hanya memasang wajah datar sedatar datarnya.
Maha melirik wanita itu sebentar lalu berlalu pergi begitu saja. Dia keluar dari rumah sakit besar itu, menghampiri motornya yang berada di parkiran, berdiri disana, menatap disekililingnya, dan menghembuskan nafasnya cukup kasar.
"Apa dia gak kesakitan ya?" gumannya, dia menggusar rambutnya ke belakang dan helaian rambutnya yang langsung diterpa angin.
"Gua harus gimana?" lagi, monolognya seorang diri. Dia pun bergegas menaiki motornya, menyalakan mesinnya dan melajukannya meninggalkan pekarangan rumah sakit yang sedang ramai itu.
Dia sebenarnya tidak tahu ingin kemana, tujuannya tak jelas. Dia hanya ingin sendiri, dia butuh ruang sendiri. Sejak semalaman dia selalu memikirkan gadis itu, Yana. Bagaimana bisa disaat gadis itu juga sedang mengalami musibah masih bisa menolong orang, dan itu adalah kakaknya sendiri. Maha bukannya tidak bersyukur, dia sangat bersyukur, bahkan sangat, tapi kenapa harus Yana. Kenapa gadis itu, dia sama sekali tidak mengenal gadis itu, bahkan tahu saja bahwa gadis itu ada Maha tak tahu, tak peduli juga.
Tapi sekarang, semesta seolah sedang berencana kepadanya. Dan tekadnya juga sudah bulat, dia harus menemui gadis itu, mengucap terima kasih lalu selesai. Dia tidak ingin dianggap tidak tahu diri. Lagian, dia juga tidak ingin berurusan lebih lama dengan gadis itu.
Sementara di ujung sana, di rumah Yana, Yana sedang disambut hangat oleh kedua adiknya dan beberapa karyawan ibunya. Dia datang dengan taksi dan kursi roda. Iya, dia belum normal untuk berjalan, kedua kakinya masih cedera akibat kecelakaan tiga hari yang lalu.
"Ini apa ma?" kening Yana mengkerut saat menatap sebuah motor berwarna merah ada di teras rumah mereka. Motor itu terlihat masih baru, karna plastiknya masih ada di sana, membungkus motor itu.
"Motor." jawab Ana, dia tersenyum hangat kepada Yana.
Yana diam, dia terus menatap motor itu lalu mengangkat kepalanya menatap Ana dan kedua adiknya bergantian yang berdiri dihadapannya. Lalu dia menoleh ke Bianca dan Gea, karyawan ibunya dan teman penggibahnya disaat dia gabut, tidak ada kerjaan.
"Mama beli motor?" tanya Yana dan diangguki Ana dan melangkah mendekat.
"Iya, mama sengaja beli motor biar ini tidak terulang lagi. Biar kamu ada yang antar dan jemput." ucap Ana lembut.
"Tapi Yana gak bisa-"
"Kan ada gua." potong Fedi, adik keduanya. Dia mengedipkan sebelah matanya menatap Yana dan "Lo tenang aja kak."
Yana diam, dia menghela nafasnya. Dan hanya mengangguk saja kemudian tersenyum sekilas.
"Makasih ma, tapi sebenarnya ini gak perlu."
"Perlu. Ini sangat perlu." ucap Ana tegas, dia lalu mengelus rambut sebahu Yana yang hari ini terurai indah.
"Ya sudah, kamu istirahat dulu sana, ya. Kamu belum pulih total loh. Sekolah kamu, mama udah minta izin untuk absen kamu satu minggu." ucap Ana memberitahu. Dia memang sebelum itu sudah mengabari pihak sekolah untuk itu.
"Iya ma." jawab Yana lesu. Lalu Ana yang mulai mendorong kursi roda Yana, memasuki kamarnya. Sementara Yana tidak akan tidur di kamarnya, di lantai atas, Yana akan tidur di kamarnya.
"Ma, soal donor darah aku yang kemarin sudah gimana?" tanya Yana saat Ana membantunya untuk berbaring. Dia menatap Ana dari bawah. Ibunya itu ternyata sudah tua, terlihat beberapa keriput di wajahnya.
"Mama kurang tahu, nanti mama tanya ya?" Yana mengangguk pelan dan menarik selimut pink itu sampai sebatas dadanya.
"Nanti katanya Zumi datang, kamu tunggu aja ya." kata Ana dan diangguki Yana saja. Tiba tiba kepalanya terasa sedikit pusing dan dia yang langsung menutup kedua matanya. Dia ingin tidur sebentar sampai Zumi datang nanti.
Kepergian Ana yang terasa membuat Yana menghela nafasnya dalam diam dengan masih menutup kedua bola matanya. Dia mendengar pintu kamar yang sudah ditutup membuat dia membuka pelan pelan kedua bola matanya. Tiba tiba perkataan Lukas yang kemarin teringat olehnya, dan apakah dia salah jika laki laki itu yang menyebabkan dirinya menjadi seperti ini.
Jika iya, sungguh, laki laki itu benar benar brengsek menurutnya. Dia akan membenci Lukas dan tidak akan memaafkan pria itu.
"Kak Maha." tanpa di duga, di dalam keheningan itu, Yana mengucapkan nama itu. Dia menyadari itu sebenarnya, tapi untuk mengucapkannya secara jelas itu spontan. Tidak tahu kenapa, di rindu dengan pria itu.
Dia bertanya, apakah Maha tahu dirinya bagaimana sekarang.Sejak pertama kali Maha datang, memasuki sekolahnya walau hanya sebatas gerbang, menemui Wardi, dari jauh Yana sudah melihatnya. Melihat Maha itu dan tersenyum tipis, namun, laki laki itu saat itu sama sekali tak menyadarinya, mungkin karna pada saat itu keadaan lagi ramai, Yana memaklumi itu.
Dan saat dia lagi lagi yang dipertemukan oleh Maha di halte, itu dia sebenarnya ingin pingsan saat itu. Dia tidak menyangka, Maha melihatnya secara jelas dan itu berarti Maha tahu bahwa dia ada, ada di bumi. Namun, saat melihat sikap laki laki itu yang terkesan cuek membuatnya saat itu mendengus kesal. Dia tidak suka Maha punya sifat seperti itu, tapi, parasnya lagi lagi mengalahkan itu, dia menyukai Maha.
"Lo mikirin apa?" Yana menoleh ke samping, ternyata Zumi sudah berdiri di sebelahnya dengan beberapa makanan ditangannya.
"Mikirin apa hayo lo, ngaku!!" Zumi meletakkan beberapa makanan itu diatas nakas lalu merangkak naik ke atas tempat tidur, duduk di samping Yana.
"Lo jangan banyak pikiran dulu, takutnya nanti lo malah stres, bukannya malah sembuh." oceh Zumi, lalu dia ikut berbaring disamping Yana.
"Gua capek, ngantuk juga." katanya dan mulai memejamkan kedua bola matanya. Badannya meringkung ke samping, menghadap ke Yana.
"Kok malah tidur?" Yana menatap Zumi heran. Ini sebenarnya Zumi menjenguknya atau hanya numpang tidur saja.
Jika bukan teman, sudah Yana usir dia.
********
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHANTAN
Teen Fiction'Jika orang lain jatuh cinta dengan parasnya, maka aku jatuh cinta dengan caranya'