Di salah satu rumah, tepat di tengah tengah kota, segerombolan laki laki sedang duduk santai di teras rumah dengan di temani alunan gitar dan makanan yang begitu banyak.
Hari semakin malam, jam juga sudah menunjukkan hampir jam sepuluh, namun tak membuat mereka berhenti lalu pergi pulang ke rumah masing masing. Bahkan, sebelum itu, mereka sudah sepakat untuk menginap malam ini. Mereka adalah Mahantan, Jay, Stev, dan Nugu. Dan rumah yang mereka tempati malam itu adalah rumah Jayana Nugraha.
"Gua dengar dengar, tadi siang ada anak Men tabrak lari, ya nggak sih?" itu adalah suara Stev. Dia menatap Maha yang sibuk dengan gitarnya, Jay yang sibuk nge-game dan Nugu yang asik mengemil.
"Iya." yang membalas adalah hanya Nugu saja.
"Siapa?" tanya Stev, menatap Nugu yang sedari tadi mulut laki laki itu tidak berhenti mengunyah.
"Gak tahu." acuh Nugu, lalu dia mengambil sebotol minuman bersoda itu lagi dan meneguknya sampai kandas tak tersisa.
"Lo tahu nggak Jay?" Stev mengalihkan tatapannya ke Jay.
"Cewek yang waktu itu di halte." jawab Jay sembari fokus dengan game di ponselnya.
"Yang waktu itu, yang pas hujan itu?" tanya Stev lagi dan hanya diangguki Jay saja.
"Lo tahu darimana?" tanya Stev lagi dan kini memutar tubuhnya yang tadinya kearah samping kini berhadapan penuh dengan Jay.
"Ada berita." cuek Jay, "Ck, kalah gua anj*ng!" suara Jay terdengar membentak, itu sudah biasa bagi mereka. Jay kalau kalah pasti mengumpat asal.
"Kalau gak salah namanya Yana ya?" Nugu bersuara sambil menguyah sisa sisa makanan di mulutnya.
"Ingat banget lo." cibir Jay, "Suka lo ya?" tangan telunjuk Jay mengarah ke Nugu, menuduh laki laki itu, memberikan tatapan ledekannya.
"Manis orangnya." hanya itu yang diucapkan Nugu. Dia bangkit berdiri, melangkah masuk ke dalam rumah Jay, lalu keluar lagi membawa beberapa minuman lagi.
"Jangan banyak banyak minum lo." tegur Maha, menatap Nugu dengan intens.
"Sekali ini lagi." balas Nugu, menyengir malu malu. Dia tahu, jika Maha sudah berbicara seperti itu, laki laki itu berarti serius. Maha itu adalah orang yang sangat tidak suka jika teman temannya ada yang aneh, laki laki itu terkesan cukup serius. Bahkan mungkin tidak pernah mengeluarkan candaan ketika mereka bersama. Kebanyakan Nugu yang melakukan itu.
"Kenapa bisa ketabrak?" tanya Stev lagi.
"Ya karna udah takdirnya." balas Jay. Lagian, pertanyaan Stev begitu konyol. Seperti itu saja dipertanyakan.
"Gua serius." ujar Stev.
"Ya gua gak tahu lah." balas Jay, dia terlalu malas membahas hal seperti itu. Dia pun bangkit berdiri, melangkah masuk ke dalam rumahnya untuk ke kamar mandi sebentar.
Setelah kepergian Jay yang melangkah masuk ke dalam rumahnya, sebuah dering ponsel berbunyi diantara mereka. Sontak, ketiganya saling menatap sama lain, dan menundukkan pandangannya ke ponsel Maha yang terletak di atas lantai bening itu, lebih tepatnya di samping laki laki itu.
Maha meletakkan gitarnya pelan di sebelahnya lalu mengambil benda kecil itu, melihat sekilas layar ponselnya yang ternyata adiknya, Lisa, menelponnya.
"Halo." suara Maha terdengar saat menerima panggilan dari adik perempuannya disana. Pasti, adiknya sedang di rumah sakit bersama Ibunya menemani kakaknya di ruang inap.
"Pulang bang, kak Reni makin parah. Dia kekurangan darah."
Tubuh Maha seketika kaku, wajahnya yang biasanya terlihat datar kini seketika berubah menjadi pucat. Dia langsung mematikan ponselnya, bangkit berdiri, lalu memakai hoodie hitamnya, menyimpan ponselnya disana.
"Gua balek dulu." pamit Maha hanya mengatakan itu. Dia sedikit berlari keluar, tanpa terasa air matanya jatuh begitu saja. Berharap apa yang dia pikirkan tidak terjadi.
"Lo harus bertahan kak." gumannya menaiki motor besarnya, menyalakan mesinnya dan melajukannya membelah jalanan malam itu. Dia bahkan menambahi kecepatan motornya di atas rata rata agar cepat sampai di rumah sakit.
Sudah satu tahun lebih kakaknya mengidap penyakit itu, berulang kali juga masuk rumah sakit, dia selalu berdoa dan berharap semoga ada harapan agar mereka kembali berkumpul bersama. Dia rindu, sangat rindu momen momen dimana kakaknya yang ceria ada diantara mereka.
Beberapa menit menempuh perjalanan, akhirnya pemuda itu pun tiba di rumah sakit tempat yang selalu dia kunjungi, rumah sakit Metamedika. Dia turun dari atas motornya, membuka pengait helmnya dan meletakkannya. Sebelum dia melangkah, sejenak dia mengatur nafasnya dan pergi memasuki rumah sakit yang masih nampak ramai pengunjung itu.
Menyelusuri koridor rumah sakit, menaiki lift satu kali, karna ruang inap kakaknya berada di lantai dua, nomor 302. Rumah sakit itu tersedia tiga lantai, maka dari itu, rumah sakit itu sering kali ramai di datangi. Selain besar dan harga administrasinya yang terjaga, pengobatannya juga lumayan.
Dari jarak yang sedikit lagi mendapati ruang 302, dari kejauhan dia melihay ibu dan adiknya berdiri disana, di depan pintu seraya memeluk satu sama lain. Melihat itu, dadanya bergerumuh hebat, lantas dia berlari mendekat. Dia sangat sangat berharap apa yang dia takutkan tidak terjadi.
"Ma, kenapa?" tanya Maha menatap sebentar kearah jendela kaca ruang kakaknya, Reni.
"Tadi kakak mu, kritis, katanya butuh donor darah, trus, syukurnya ada golongan darah yang sama seperti kakakmu. Golongan darahnya juga O."
Detak jantung Maha yang tadinya berdetak sangat kencang kini mulai kembali normal. Pikirannya yang tadinya semuanya kalut mendadak lenyap. Kini, semesta seperti memberinya ruang untuk legah. Jujur saja, tadi dirinya sangat sangat takut apa yang terjadi dengan kakaknya yang akhir akhir ini koma karna penyakitnya yang tiba tiba kambuh.
"Syukurlah." ujar Maha bernafas legah. Dia menempelkan dirinya di dinding putih itu, tepat di belakangnya.
"Orang itu baik banget." kata Lusi, dia tersenyum girang dan melihat Reni yang di dalam sedang di periksa dokter.
"Kita harus berterima kasih sama dia. Katanya, dia juga mengalami kecelakaan tadi, dia mengeluarkan banyak darah." kata Lumi, ibu Maha.
"Mungkin, karna itu,-"
"Namanya siapa ma?" tanya Maha, memotong ucapan sang ibu. Tidak tahu kenapa, dia teringat dengan percakapan Jay, Nugu dan Stev tadi. Ada kecelakaan, di SMA Mendrova dan namanya Yana. Perempuan yang pernah dia temui di halte saat dia tak sengaja meneduh karna hujan.
Jangan bilang, jika gadis itu adalah Yana.
"Siapa dek?" Lumi menatap Lusi, anak terakhirnya itu. "Ariana apa tadi?" tanya Lumi, dia juga tidak mengingat jelas apa yang disampaikan sang dokter tadi.
"Ariana Alkatur Nicole, katanya di panggil Yana." kata Lusi, bola matanya memutar ke kanan mencoba mengingat "Iya itu, Yana namanya."
Sudah diduga. Maha sudah menduga itu. Gadis itu, gadis itu yang ternyata memiliki darah yang sama dengan kakaknya dan memberikannya suka rela. Yana, perempuan yang hanya sekali dia lihat, seminggu yang lalu.
Maha menelan salivanya berat, dia merasa pasokan pernafasannya terasa sesak. Dia mengalihkan tatapannya, menatap Reni yang berada di dalam sana dengan bayang bayangan wajah Yana yang tiba tiba datang kepikirannya. Wajah Yana yang saat pertama dia lihat, di halte, wajah Yana yang nongol dari balik jendela bus menatapnya, wajah Yana yang menatapnya seperti, damba?
"Kenapa bang?" tanya Lumi, dia menatap Maha yang tiba tiba menjadi aneh.
Maha menggeleng pelan "Gak Ma."
Maha melangkahkan kedua kakinya mendekati kursi besi di depannya, duduk disana, termenung. Dia memikirkan apakah dia harus berterimakasih dengan gadis itu?
Kenapa bumi yang sangat luas ini harus sempit baginya.
Dia tidak mengenal Yana, begitu juga gadis itu. Namun, kenapa seolah olah semesta sedang mempertemukan dia dengan Yana.
*******
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHANTAN
Teen Fiction'Jika orang lain jatuh cinta dengan parasnya, maka aku jatuh cinta dengan caranya'