CHAPTER 3

182 122 52
                                    

Disaat semua siswa-siswi berbondong-bondong untuk keluar sekolah setelah mendengar bel pulang berbunyi, anggota OSIS yang menjadi panitia MPLS masih terjebak di aula tempat pelaksanaan kegiatan tadi. Raut lelah tercetak jelas di wajah mereka. Namun, tidak ada yang berniat istirahat satupun sebelum ruangan besar ini bersih dan rapi kembali.

Terlihat beberapa anggota perempuan menyapu dan mengepel lantai yang di pijak berkali-kali. Anggota laki-laki dengan inisiatif sendiri memungut sampah yang telah di kumpulkan untuk di masukkan ke dalam tong sampah. Dua gadis yang menjabat sebagai sekretaris sibuk dengan laptop di sudut ruangan. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing.

Setengah jam berlalu, akhirnya mereka bisa beristirahat sejenak. Beberapa dari mereka ada yang rebahan di lantai, selonjoran sembari bersandar pada dinding, dan ada juga yang duduk di depan kipas angin.

"Mau makan atau minum?"

Pertanyaan Jemian mengundang perhatian anggota-anggotanya. Mereka saling toleh sebelum bersuara.

"Minum aja lah. Kalau makan, ribet," jawab Erika, si sekretaris yang masih setia memandangi laptopnya. Ia menjawab tanpa menoleh sedikitpun.

"Kita ngga lapar, cuma haus aja," tambah Fandra di setujui oleh yang lainnya.

"Yakin? Kalian makan cuma ISOMA tadi, sekarang udah jam berapa ini?" tanya Jemian lagi. Raut tak yakin terukir di wajah tampannya.

"Cemilan aja deh, Je. Ngga usah makan," jawab si bendahara, Gladys. Ia langsung mengeluarkan dompet yang berisi kas OSIS. Mengambil beberapa lembar uang biru untuk di berikan kepada Jemian.

"Nih, uangnya. Siapa yang beli keluar?" tanya Gladys menyerahkan uang kepada Jemian.

"Ngga usah, gue yang traktir. Tapi, gue malas beli keluar," jawab Jemian menolak uang dari Gladys. Gladys dengan senyumnya menyimpan kembali uang itu. Merasa bersyukur karena kas OSIS tidak jadi berkurang nominalnya.

"Gue aja yang beli!" sahut Harsa bangkit dari posisinya yang berada di depan kipas. Ia dengan beraninya menarik kerah belakang Jevano membuat laki-laki itu terpaksa berdiri jika tidak mau tercekik.

"Lo mau bunuh gue atau gue yang bunuh lo?" tanya Jevano dengan tatapan tajamnya. Harsa yang merasa dalam bahaya langsung ngacir ke belakang Jemian.

"Nggak boleh bunuh-bunuh, Jen. Dosa," cengirnya dari balik punggung Jemian.

"Ndra, lo aja yang temenin Harsa keluar sana. Tu anak berdua ngga boleh di satuin. Kan ngga lucu kalau tiba-tiba ada berita pembunuhan anak sekolah," ujar Raynan di angguki Fandra.

"Tapi kan gue mau nya sama Jevan, Ray. Gue nggak mau di bilang tukang PHP. Kasian Jevan udah berharap," sungut Harsa membuat Jevano mencak-mencak.

"Anjing! Ini serius ngga ada yang bawa batu?" umpat Jevano mengundang tawa dari yang lainnya.

Fandra segera menarik Harsa sebelum anak itu semakin menjadi-jadi menjaili Jevano. Fandra ngeri sendiri bayangin Harsa di geprek sama gapura kecamatan itu. "Ayo, bang! Gue takut lo di jadiin ayam geprek sama Bang Jen," ajak Fandra menyeret Harsa keluar.

"Gue yang ketemu pas organisasi aja pusing liat kelakuan itu abang satu itu. Apa kabar kalian yang ketemu tiap hari?" tanya Fora, bendahara dua yang masih duduk di kelas sebelas. Sama seperti Fandra.

"Paling darah tinggi doang," jawab Raynan menghela nafas kasar. "Lo pada kalau ada riwayat darah rendah, gue saranin temanan sama dia. Di jamin, satu jam langsung naik darah kalian,"

"Engga ada efek samping apapun, paling habis itu kalian stroke," tambah Jevano membuat tawa yang lainnya semakin pecah.

"Ngeselin-ngeselin gitu, dia tetap lucu sih," ujar Gladys dengan mata berbinar. Bukan rahasia umum lagi di kalangan anak OSIS, jika si bendahara galak itu menyimpan rasa pada Harsa. Hanya Harsa saja yang tidak peka-peka.

TUJUH BELAS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang