CHAPTER 6

151 105 53
                                    

Terhitung sudah lima belas menit Winona berdiri di depan tiang bendera dengan posisi hormat. Masih tersisa sepuluh menit lagi sebelum bel pergantian jam berbunyi dan ia bisa masuk kelas. Dua siswa yang bersamanya tadi sudah bebas. Alih-alih melakukan hormat sampai jam pelajaran pertama habis seperti yang ia lakukan, dua orang yang tidak Winona ketahui namanya itu lebih memilih lari 20 putaran. Katanya, biar hukumannya lebih cepat selesai.

Wajah cantik Winona sudah sepenuhnya memerah. Bulir-bulir keringat bercucuran disana. Mata Winona terus menyipit karena cahaya matahari yang membuatnya silau sekaligus kepanasan. Perut Winona yang belum di isi apapun sudah meronta-ronta minta makan. Winona sedikit terhuyung karena pusing ikut menyerang. Beruntung, tangan besar seseorang menahan bahunya sehingga ia tidak berakhir dengan panasnya lantai lapangan.

Dari parfumnya, Winona dapat menebak orang itu adalah Jemian. Laki-laki yang kini berdiri di sisi kanannya, memberikan tatapan khawatir kepadanya.

"Kenapa? Pusing?" tanya Jemian di angguki Winona.

"Lapar juga," tambah Winona mengelus perutnya.

"Nasi goreng mau?" tanya Jemian mengeluarkan ponselnya. Mengirim pesan ke seseorang untuk minta dibelikan sarapan.

Winona mengangguk semangat karena memang dirinya selapar itu. Gadis itu tidak pernah melewati sarapannya. Tapi karena tadi ia sudah telat, terpaksa sarapannya di tunda dulu.

"Masih berapa menit lagi?" tanya Jemian berdiri di belakang Winona. Dikeluarkannya ikat rambut kecil dari saku almamater, rambut panjang Winona yang terurai disatukannya sebelum diikat tidak terlalu rapi. Tapi, setidaknya itu dapat mengurangi kegerahan Winona.

"Lima menit lagi kayaknya," jawab Winona melirik jam tangan yang ada di pergelangan tangan kirinya.

"Kalau gitu, udahan aja. Kita ke ruang OSIS sekarang," usul Jemian menghapus keringat di pelipis Winona menggunakan sapu tangan miliknya.

"Boleh emangnya? Ntar dimarahin koko lagi," Winona menatap sepenuhnya pada Jemian dengan wajah lugunya. Ia sudah tidak lagi terpapar sinar matahari karena Jemian menghalanginya.

"Ntar gue marahin balik," balas Jemian santai. Ia lalu meraih tangan Winona, menariknya keluar dari lapangan dan membawanya ke ruang OSIS.

"Duduk disini dulu. Gue mau ambil kipas sama sisir," suruh Jemian sesampainya mereka di ruangan itu. Ia menunjuk salah satu sofa, lalu meninggalkan Winona untuk mencari benda yang ia sebutkan tadi.

Winona menghempas tubuhnya di sofa. Kepala yang lumayan pusing ia sandarkan pada bahu sofa. Meskipun AC di ruangan ini menyala, Winona masih saja merasa kepanasan. Efek berjemur hampir setengah jam.

"Loh, Ona. Haii!"

Winona menoleh kaget ke arah pintu. Dari sana, Gladys datang dengan Kiran. Winona tersenyum manis membalas sapaan Gladys.

"Wajah kamu merah banget. Habis di hukum si Koko pasti ya?" tebak Gladys duduk di samping Winona. Tipis-tipis melakukan pendekatan dengan calon adik iparnya. Sementara Kiran ia biarkan duduk di sofa single.

"Iya, aku telat tadi. Terus akunya di jemur di lapangan deh sama si Koko. Tega banget emang," balas Winona menipiskan bibirnya.

Gladys mencubit pipi tembab Winona, "Mau aku omelin dia ngga?" tawar Gladys. "Atau mau request jambak, tampar atau pukul si chindo itu sekalian?"

Winona terkekeh, "Ga usah, Kak. Kasian Kokonya aku nanti," jawab Winona.

"Ga usah ajarin Ona yang aneh-aneh, Dys. Minggir sana!" Jemian yang datang dengan kipas dan sisir di tangannya langsung menyuruh Gladys pindah. Padahalkan, sofa masih banyak yang kosong. Emang si babang aja yang pengen duduk di samping Winona.

TUJUH BELAS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang