CHAPTER 8

145 94 53
                                    

"Oh ini yang habis ditembak cowok di lapangan tadi,"

"Oh ini yang mukanya di taruh di baliho caleg,"

"Oh ini yang paginya berangkat sama si abang, siangnya di tembak sama cowok yg beda,"

"Oh ini-akh anjing,"

Harsa reflek mengumpat saat sebuah remote televisi mendarat di wajahnya, mengenai hidung mancungnya. Ia melirik sinis pada Winona yang menatapnya penuh kekesalan. Disampingnya, Sadam terkikik geli karena merasa beruntung dia tidak terkena lemparan maut Winona.

"Bisa diam ngga?! Nambah-nambahin polusi suara aja," sewot Winona menatap bergantian kedua saudaranya. "Oh ini, oh ini, oh ini, iya gue! Kenapa? Masalahnya apa sama lo berdua? Ga senang? Kalau emang engga,  ga usah kayak gitu bisa?"

Winona mengomel, tapi matanya berkaca-kaca seolah sudah siap mengeluarkan cairan bening dari sana.

"Heh, keren gitu ngomong sama kita? Attitude nya mana?" sela Harsa belum puas menjahili Winona sebelum gadis itu benar-benar menangis.

"Abang kenapa sih? Adek punya salah apa sama abang? Kenapa abang selalu kayak gini ke adek? Mas juga. Kenapa ikut-ikutan abang? Kalau emang ga suka sama adek, bilang. Ga gini caranya," ujar Winona sebelum tangisannya pecah. Bahu sempitnya naik turun seiring isakannya yang semakin jelas terdengar.

Harsa terkekeh karena lagi-lagi berhasil membuat adiknya menangis. Itu salah satu hiburan bagi Harsa. Winona itu cengeng, makanya Harsa suka bikin dia nangis.

Lain dengan Sadam, laki-laki yang mengenakan kemeja lengan pendek itu langsung berdiri untuk menghampiri Winona. Di tariknya tubuh Winona ke dalam pelukannya. Selucu-lucunya Winona saat menangis, Sadam tetap tidak tega melihat air mata adiknya itu terbuang sia-sia. Sadam tau akhirnya akan begini, harusnya dia tak mengikuti saran manusia usil yang kini terkikik sendirian.

"Kok nangis? Mas sama abang bercanda doang loh," ujar Sadam menepuk-nepuk puncak kepala Winona.

"Mas awas. Adek mau mamii~" rengek Winona mendorong tubuh Sadam.

"Ssst jangan panggil bunda. Nanti abang sama mas di omelin. Adek ga kasian sama kita? Adek taukan, bunda kalau ngomel parah banget," sela Harsa tanpa menyadari kalau Tania sudah ada di belakangnya.

Harsa terpekik ketika telinganya ditarik begitu saja. Ia menoleh kebelakang, matanya melotot saat melihat Tania sudah berkacak pinggang menatapnya dengan tatapan penuh tuntutan.

"Separah apa omelan bunda, hm? Sejak kapan bunda pernah ngomel-ngomel ke kalian?" tanya Tania tersenyum manis. Tangannya yang berada di daun telinga Harsa semakin kuat menarik membuat Harsa memekik keras.

"Bundaharaa, telinga abang bisa copot kalau gini ceritanya," pekik Harsa mengelus telinganya yang sudah bebas dari jeweran Tania.

"Kamu apain lagi anak bunda? Kamu nih ya, ga ada capek-capeknya usilin adek. Hidup kamu ga tenang kalau ga liat adek nangis, iya?" omel Tania menghampiri Winona yang masih berada di pelukan Sadam.

"Mamii~" rengek Winona jatuh ke pelukan Tania. Ia menangis bombay sambil mendusel di leher Tania.

"Kok cuma abang yang diomelin? Mas juga ikutan loh, Bun," Harsa yang tidak mau kena omelan sendiri, membawa nama Sadam agar masnya itu juga diomeli.

"Mana ada. Lo kalau ngomong jangan sembarangan ya," elak Sadam tak mau kena omel. "Dia yang ngajak duluan, Ma. Mas ngikut aja hehe," cengir Sadam saat tatapan tajam Tania tertuju padanya sepenuhnya.

"Ada apa ini? Princess papi kenapa nangis? Siapa yang berani bikin princess papi nangis? Duel sini sama papi,"

Bara yang baru selesai membersihkan diri setelah seharian dikantor, bergabung dengan mereka dengan wajah keheranan. Ia mendekat pada putri satu-satunya, menunduk sedikit untuk bisa melihat wajah cantik Winona yang tertutup oleh rambutnya. Gadis itu sudah terlepas dari pelukan Tania.

TUJUH BELAS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang