CHAPTER 4

161 117 52
                                    

Kericuhan terjadi di kelas 11 MIPA-1 pagi ini. Semua berawal dari teriakan Billy saat kembali ke kelas setelah ijin di detik-detik habisnya jam mata pelajaran Kimia. Laki-laki tengil yang sangat suka membuat siapa saja emosi itu menyampaikan apa yang ia lihat dan desus-desus yang ia dengar sepanjang perjalanan menuju kelas. Bahwasanya, anak-anak OSIS akan mengadakan razia satu jam sebelum jam istirahat pertama berbunyi. Tiga jam pertama sudah lewat, sekarang sudah masuk jam keempat, yang artinya anak-anak OSIS akan masuk dalam beberapa menit kedepan.

"Lo serius ngga sih, Bil? Biasanya kalau razia, pasti ada rumornya beberapa hari sebelum itu," terdengar suara Selena yang menyampaikan rasa ketidakpercayaannya.

"Dua rius! Kalau ngga percaya, ke ruang OSIS aja sana. Pasti mereka lagi siap-siap buat membantai kita," jawab Billi sedang menyisir rambut gondrongnya dengan rapi setelah memakaikan minyak rambut.

"Kenapa tiba-tiba banget? Baru juga seminggu sekolah," komen gadis yang duduk di belakang Selena, Windy namanya.

"Razia dadakan mungkin? Tapi, ngga sedadakan ini juga. Ngga boleh ada yang ngalahin dadakannya tahu bulat," sahut Kaivan ikut berkomentar. "Anjir, kayak bocah habis mandi gue," decaknya memperhatikan pantulan dirinya lewat cermin yang menggantung di dinding belakang.

"Ini rambut gue kena ngga sih?" Deana, gadis yang duduk di sudut dekat pintu bertanya.

"Kemungkinan iya. Warnanya lumayan ngejreng. Kapan lo ganti kepala?" jawab dan tanya Rachael.

"Baru kemarin. Hahh, alamat ganti kepala lagi gue nanti," jawab Deana pasrah.

"Gue juga baru warnain kuku gue kemarin," celetuk Winona memperlihatkan kuku palsunya yang diberi warna pink dan light white.

"Ih, warnanya bagus. Sayang banget kalau sampai kena," komen Kaila mengeluarkan ponselnya. Ia membuka aplikasi kamera, menarik jemari Winona, lalu menekan tombol sehingga flash menyala. Kaila baru saja memotret kuku Winona.

"Warnanya bagus. Kapan-kapan kita pake lagi kayak gini," ujar Kaila tersenyum manis. Winona mengangguk setuju.

"Kayaknya beneran razia deh. Udah hampir sepuluh menit, tapi belum ada guru yang masuk," suara Chleo membuat mereka menoleh, untuk membenarkan ucapan si ketua kelas.

Ketukan pintu membuat kepala mereka berputar ke arah pintu. Semuanya menegang mendapati tiga orang anggota OSIS, dua perempuan dan satu laki-laki berdiri di depan pintu. Mengabaikan teman-temannya yang berpotensi terkena razia terlihat susah payah bernafas, Chleo dengan santainya mengijinkan ketiga orang itu masuk.

"Selamat pagi semua. Kedatangan kami ke sini untuk melakukan pengecekan pada kalian yang telah melanggar aturan sekolah atau yang kalian kenal dengan razia. Bagi kalian yang membawa barang-barang yang tidak seharusnya di bawa ke sekolah, ketika kami mendapatkannya, tidak akan ada cerita di kembalikan. Semua akan berakhir di kotak keramat. Jangan mencoba menyembunyikan apapun. Dan terima nasib,"

Penjelasan yang lumayan panjang dari Jemian, sang ketua OSIS didengarkan dengan baik oleh semua murid di kelas ini. Gladys yang berdiri di sisi kiri Jemian, dengan sebuah kotak yang sering disebut sebagai kotak keramat di tangannya, menambahkan ucapan Jemian.

"Seperti biasa, kalian akan mendapatkan poin sesuai apa yang kalian langgar. Jika poinnya kurang dari lima, kalian masih selamat. Jika lebih, bersiap-siap untuk ke ruang kedisiplinan, membuat perjanjian dan membawa orangtua kalian ke sini. Jangan ada yang protes. Karena dari awal peraturannya sudah begitu," Gladys berujar dengan suaranya yang lumayan cempreng.

"Paham?" suara berat Jemian kembali terdengar.

"Siap, paham!"

Pemeriksaan itupun berlangsung sekitar lima belas menit lamanya. Kotak di tangan Gladys yang tadinya kosong, kini sudah terisi oleh beberapa alat kecantikan yang ditemukan di tas para siswi. Teras depan kelas, terutama dekat tong sampah, terdapat banyak potongan rambut disana. Ketiga anggota OSIS keluar dari kelas diiringi dengan keluhan murid-murid di kelas itu.

TUJUH BELAS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang