Soerabaja, Hindia Belanda, 1892
"Tolong jangan berikan mawarmu yang indah kepada pria lain, Liana."
Jefferson bersua dengan mata polos yang legam khas wanita pribumi, hatinya bergetar dan lidahnya kelu. Air wajahnya yang selalu tenang bahkan tak mam...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Janlup spam komen yh 🫵🏻
Selamat Membaca
Pria itu tak bergeming dari tempatnya, kakinya masih menapak di atas cerutu yang sudah hancur dengan mengenaskan. Jefferson masih menatap lekat ke arah gadis pribumi itu dari kejauhan. Liana.
Jika di hari-hari sebelumnya, Jefferson akan dengan refleks berjalan ke arah Liana, kakinya akan melangkah sendiri membawanya untuk bersua dengan Si pribumi. Namun kali ini ia hanya memaku di tempat, khusyuk memuja dalam diamnya, di bawah terik matahari Soerabaja yang satu jengkal di atas kepala.
Ah, bicara tentang hari-hari sebelumnya... terakhir kali mereka bertemu 3 hari yang lalu. Setelah Jeff pulang dari rumah Liana untuk meminum teh terkutuk itu, mereka belum bertemu lagi. Hari ini pria itu tak memiliki niatan untuk menyapa Si gadis pribumi yang selalu paranoia, Jefferson memiliki urusan mendesak di kantor desa dan harus pergi sekarang.
Ia jadi bertanya-tanya, apakah Liana menunggu kedatangannya? Apakah perempuan muda itu merasa bersalah dan beranggapan jika Jeff kapok setelah meminum teh jati darinya?
Sang pria belanda tertawa kecil, berharap Liana benar-benar merasakan sesuai dengan apa yang ada di imajiner Jefferson.
Liana yang selalu merasa bersalah dengan tingkah kikuknya. Jefferson menyukai itu. Sangat lucu.
Besok. Mungkin besok, dia akan temui Liana.
———oOo———
"Heh babu! Sini kau!"
Liana yang tengah menyapu halaman sekitar kebun, menoleh ketika seseorang berteriak padanya. Gadis itu terkejut, dia segera menyandarkan sapunya dan berlari kecil menghampiri teras rumah Keluarga Haghen.
"Saya... Meneer?"
Hans mendengus malas, "ya lah! Memang siapa lagi babu di depanku?!"
Gadis pribumi itu menurunkan pandangan. "Maaf Meneer, ada perlu apa memanggil saya?"
"Kedua saudaraku datang, cepat buat minuman! Makanan juga sekalian!"
Liana mendongak, "tapi... saya sedang membersihkan kebun, dan dapur bukan tugas saya—"
"Babu tetap babu! Jangan banyak protes!" Hans langsung naik darah. "Cepat buat! Atau ku seret kau!"
Meneguk ludah, Liana mengangguk cepat, takut dipukuli. "Iya," lalu hendak berjalan menaiki teras.
Namun baru ia melepas sandal, Hans tiba-tiba menendang bahunya dari tangga atas hingga Liana jatuh ke tanah dengan keras. "Kau gila ya?! Lewat belakang, bodoh!!"