Jangan lupa spam komen yg banyak 🫵🏻😋
Selamat Membaca
"Kamu yakin ndak ada apa-apa sama londho itu? Heh, dia ternyata residen lho!"
Sebenarnya sejak tempo hari lalu Mbak Ayu heboh dan menginterogasi Liana mengenai Jefferson yang tiba-tiba datang mencarinya. Gadis yang lebih muda kebingungan harus menjelaskannya seperti apa karena memang dia tak ada hubungan apapun dengan Jefferson, mereka bahkan baru bertemu kurang dari seminggu.
"Nggih mbak, aku juga kaget waktu tahu beliau residen."
"Sampai nyari-nyari kamu begitu, mbak kira kamu ditangkap tiba-tiba nduk!"
Liana tersenyum masam. "Yo ndak toh mbak, aku ndak ngapa-ngapain kok."
Pagi itu Liana dan Rahayu pergi ke pasar bersama. Hari ini Liana tidak pergi ke kebun karena libur, jadi dia ingin menemani Rahayu yang katanya ingin pergi ke tukang jahit langganannya.
Yah, seharusnya para pribumi yang dipaksa bekerja tidak mendapat hari libur, namun beruntung Pieter Haghen tidak begitu kejam padanya, tak seperti istri dan anak tunggalnya itu.
"Ya bagus kalau begitu, mbak cuma takut. Nanti bilang sama mbak kalau dia jahatin kamu, biar mbak aduin ke Romo*."
*ayah dalam istilah jawa
"Hehe nggih mbak, terima kasih. Tapi beliau sepertinya orang baik, saya yakin."
"Liana Liana, kamu itu jangan mudah percaya orang, apalagi londho! Mereka baik karena ada maunya!" Rahayu mengibaskan tangannya sekali, membuat gadis yang lebih muda tertawa kecil.
Lalu ia menyeletuk, "kekasih mbak itu juga londho."
Rahayu langsung berdeham, "ya benar, tapi mbak sudah kenal lama dengan dia. Residen itu kan juga orang baru di sini, kita semua tidak tahu watak asli dia seperti apa, apalagi kamu ini polos dan mudah dibodohi."
Liana hanya menggaruk lehernya dengan telunjuk, meringis tipis. Mbak Ayu tidak salah.
"Nggih mbak, nanti kalau beliau macam-macam aku bilang mbak." Gelaknya.
Saat itu, mereka sedang memilih-milih pisang— Rahayu yang membeli, Liana hanya membantunya memilih pisang berkualitas bagus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Liana
Historical FictionSoerabaja, Hindia Belanda, 1892 "Tolong jangan berikan mawarmu yang indah kepada pria lain, Liana." Jefferson bersua dengan mata polos yang legam khas wanita pribumi, hatinya bergetar dan lidahnya kelu. Air wajahnya yang selalu tenang bahkan tak mam...