Jangan lupa komen di tiap paragraf biar cepet update 😎
Selamat Membaca
"Seharusnya... ini kejutan."
Melihat ekspresi gadis pribumi muda di depannya nampak sendu, Jefferson tak sampai hati. Pria itu mengulas kurva menawannya cukup tipis, menikmati kegundahan Liana yang begitu lucu di matanya. Meski saat melihat kecacatan di wajah cantik itu dia masih menimbun amarah tak terbendung, Sang Residen berusaha keras untuk menahan diri sejak tadi.
"Aku sudah terkejut, kau berhasil dengan kejutanmu meski ulang tahunku masih akhir pekan," hiburnya.
Liana menghela pelan, "bukan seperti ini maksud saya..."
"Terlebih..." pria jangkung itu menyela, "kau selalu tahu seleraku, Liana." Dia menyentuh syal putih gading tak sempurna di lehernya, masih tersenyum lembut, menatap obsidian Sang Hawa.
Perempuan muda itu menggeser netra gelapnya, mendongak untuk bersuara dengan Sang pria. "Anda sungguh menyukainya? Apakah Sir Jeff menyukai warna benang yang saya pilih? Bahannya juga?"
"Ku bilang, kau seleraku, jadi aku menyukainya." Jefferson menatap penuh arti, dengan senyum main-main khas dirinya yang kembali terukir.
Si gadis pribumi terdiam selama beberapa saat, berusaha mencerna apa yang dimaksud pria kolonial itu, meski pada akhirnya ia tak sanggup memahami. Mungkin karena memang dirinya minim literasi.
"Apa maksud anda?"
Sontak, Jefferson tertawa kecil. Lantunan sejuk menguar dari bibirnya bak dawai-dawai harpa, menggelitik indra pendengaran Liana dengan manja.
Mungkin. Mungkin saja, gadis pribumi itu luluh lagi dan lagi. Seluruh indranya melemah kala berhadapan dengan Jefferson van Den Berg.
Sang Residen menggeleng, belum memudarkan senyum main-mainnya. Ia bahkan tak bertanya lebih jauh mengenai insiden yang menimpa gadis pribumi itu kemarin sore, mengapa Liana tiba-tiba dianiaya dan apa penyebabnya. Jefferson sama sekali tak bertanya, seolah ia lebih memilih mengalihkan perhatian Liana untuk membuat perasaan gadis itu membaik.
"Sir Jeff?" Si gadis muda kembali memanggil karena pria di depannya tak kunjung menjawab, malah memerhatikannya dengan senyuman mencurigakan. "Mengapa anda memandangi saya seperti itu?"
"Aku sedang bertanya-tanya."
"Mengenai apa?"
"Mengapa luka-luka ini bahkan tak sanggup untuk menyembunyikan parasmu yang indah, Liana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Liana
Historical FictionSoerabaja, Hindia Belanda, 1892 "Tolong jangan berikan mawarmu yang indah kepada pria lain, Liana." Jefferson bersua dengan mata polos yang legam khas wanita pribumi, hatinya bergetar dan lidahnya kelu. Air wajahnya yang selalu tenang bahkan tak mam...