8. Elegi Kupu-Kupu

3.6K 759 287
                                    

𝐤𝐮𝐩𝐮-𝐤𝐮𝐩𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐲𝐚𝐩 𝐜𝐚𝐜𝐚𝐭 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐞𝐥𝐞𝐠𝐢, 𝐛𝐞𝐭𝐞𝐫𝐛𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐫𝐞𝐬𝐚𝐡 𝐝𝐢 𝐛𝐚𝐰𝐚𝐡 𝐚𝐤𝐚𝐬𝐚 𝐬𝐮𝐧𝐲𝐢 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


𝐤𝐮𝐩𝐮-𝐤𝐮𝐩𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐲𝐚𝐩 𝐜𝐚𝐜𝐚𝐭 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐞𝐥𝐞𝐠𝐢, 𝐛𝐞𝐭𝐞𝐫𝐛𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐫𝐞𝐬𝐚𝐡 𝐝𝐢 𝐛𝐚𝐰𝐚𝐡 𝐚𝐤𝐚𝐬𝐚 𝐬𝐮𝐧𝐲𝐢 


Selamat Membaca



Jeritan tak tertahankan itu melolong di hutan pohon karet yang sunyi. Hanya ada suara beberapa gagak yang melebur bersama tawa dan hinaan para pemuda Belanda di sekelilingnya. Tangisannya tak dihirau, erangannya tak diindahkan. 

Hans dan ketiga temannya menganiaya Si gadis pribumi yang tak berhenti menangis, memukuli wajahnya, menendangnya, menginjak-injak seperti seonggok sampah hina. 

"Blijf hem verslaan." (Terus pukuli dia) Hans menatap Liana dengan amarah dan kebencian yang menggunung. 

"Meneer Hans—!" Gadis itu mencoba memohon ampun, namun para pemuda itu terus memukulinya. 

Rimbunnya hutan karet di bawah langit sore yang mulai berpendar itu menjadi saksi bisu kekejaman para pemuda Belanda pada seorang gadis pribumi tak berdaya yang mulai kehabisan suaranya. 

Kakinya ditendang dan diinjak-injak, punggung tangannya yang masih memiliki luka basah karena air panas dipijak oleh kerasnya sepatu kulit mereka. 

Liana menangis, air matanya terus berderai seperti hujan, namun ia tak bisa berteriak lagi karena Hans menyumpal mulutnya dengan syal rajutan Liana, membungkamnya hingga gadis itu berhenti memohon. 

"Waarom is hij nog niet flauwgevallen?" (Kenapa dia belum pingsan juga?) Salah satu teman Hans tergelak sarkas. 

"Hahaha! Blijkbaar was hij niet zwak!" (Rupanya dia tidak lemah!)

Di naungan pepohonan yang rimbun, suasana senja terasa mencekam. Pandangan Si gadis pribumi mengabur karena matanya berair, namun remang-remang ia bisa melihat keempat pemuda itu tertawa di sekelilinginya. Mereka begitu bahagia melihat seorang gadis pribumi terkapar tidak berdaya dengan tubuh gemetar penuh luka mengerikan. 

"Ga uit de weg." (Minggir)

Hans mendorong teman-temannya ke samping dan menarik rambut Liana, menjambak dan menyeretnya sepanjang tiga meter. Perempuan muda itu masih terdengar mengerang meski mulutnya disumpal kain, dia memegang tangan Hans dengan sisa-sisa tenaganya, memohon untuk dilepaskan. 

Dengan kemarahan yang memuncuk di ujung kepalanya, Hans menekan kepala Liana di atas tanah, mencengkeram lehernya dengan erat, lantas ia tarik syal itu dari mulut Si gadis pribumi.

"Wat? Apa kau kesakitan?" Dengusnya dengan mata berapi-api. 

"Meneer..." Liana merintih, suaranya parau, nyaris menghilang. "Ampun— ampuni saya..." Dia masih menangis, tangannya gemetar hebat. 

Mawar LianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang