Jangan lupa spam komen 😌
Selamat Membaca
Hari itu, Liana merasakan betapa indah belahan kota Soerabaja yang lain. Untuk kali pertama pula ia menginjakkan kaki ke luar desa, menyadari bahwa dunia tak hanya di sekitaran kebun mawar, hutan jati, pasar dan desa kecilnya.
Hari itu, Jefferson membawanya melihat begitu banyak hal-hal yang cantik dan menyenangkan.
Sepasang insan itu berjalan bersama, meski sejak tadi Liana kerap kali memilih selangkah di belakang, Jefferson akan selalu memelankan langkahnya agar keduanya kembali sejajar.
Terlukis seringai samar bunga wajah sang adiwarna, melihat gadis pribumi di sampingnya tampak gusar merupakan kesenangan tersendiri baginya.
"Jadi kau benar-benar tak mau menggenggamku," sang pria menggumam, namun Liana bisa mendengarnya, hingga membuat wajah wanita muda itu terangkat.
"Maaf Sir Jeff, saya pikir itu bukan pilihan yang bagus. Bahkan sejujurnya... anda berjalan bersama saya seperti ini sudah terlihat tidak pantas."
Sesungguhnya Jefferson memahami keresahan Liana, tapi dirinya adalah seorang residen, dan tak akan ada yang berani untuk menegurnya hanya karena berjalan bersama dengan seorang pribumi.
"Ketakutanmu berlebihan," ungkap sang pria.
"Sir Jeff tidak mengerti—"
"Aku mengerti," pria kolonial itu menyambar. "Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu, dan biarkan aku yang tangani itu. Kau hanya perlu lakukan apa yang ku pinta, benar bukan, Liana?"
Gadis itu terdiam sejenak, sepasang tengah malamnya senantiasa bertaut dengan senja sang adiwarna.
Lantas, Jefferson melanjutkan. "Apakah menurutmu sekumpulan tentara itu— atau bahkan sekumpulan wanita borjuis yang di sana begitu tertarik akan kita?"
Liana mengikuti arah pandang pria di sampingnya, tentara-tentara tampak sibuk memerintah para pribumi untuk mengangkut dagangan dari kapal, sementara di sisi lainnya— wanita-wanita borjuis eropa asyik bercengkerama, menyebrang jembatan dengan pakaian gaya Victoria yang mencolok, seolah menggaungkan kemewahan dan status sosial mereka di tanah pribumi.
"Mungkin tidak," gadis muda itu menjawab, "tapi tetap saja saya adalah jongos."
Mendengarnya, sang residen mengangkat alis tegas asimetris. Sepasang senja yang mengkilat menelisik sosok Liana dari ujung kepala hingga kaki, diikuti oleh reaksi penuh tanya. "Mengapa kau berpikir demikian?"
Ia genggam akan sarat, terselip di antara ruas-ruas kokoh nan hangat. Selayang manja yang mencekal ulu hatinya begitu erat, buatnya memuja paras ayu berbiramat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Liana
Historical FictionSoerabaja, Hindia Belanda, 1892 "Tolong jangan berikan mawarmu yang indah kepada pria lain, Liana." Jefferson bersua dengan mata polos yang legam khas wanita pribumi, hatinya bergetar dan lidahnya kelu. Air wajahnya yang selalu tenang bahkan tak mam...