catatan kecil : mata Liana seringkali ditulis atau dideskripsikan bak obsidian. Gelap dan kelam. Bagi Jefferson, mata Liana mirip langit di tengah malam, hutan gelap yang berkabut, dan kucing hitam. Obsidian sendiri adalah sebuah batu kaca vulkanik alami yang berwarna hitam pekat dan mengkilat, terbentuk dari ekstrusi lava felsik yang mendingin dengan cepat tanpa pertumbuhan kristal.
Selamat Membaca
"Wat denk je, Max?" (bagaimana menurutmu, Max?)
"Wat?"
"Denk je dat ik verliefd ben?" (Apakah menurutmu aku sedang jatuh cinta?)
Kala itu, Max Dehaan menghujamkan tatapan aneh sekaligus sinis seolah ia tengah mengejek Sang atasan. Sangat lucu baginya karena ditanyai seperti itu. Jefferson nampak konyol.
Jefferson yang tak berhenti tersenyum-senyum semenjak kembali dari rumah Liana, seperti orang gila yang tampan. Hal itu terus berlangsung bahkan sampai keduanya sampai di kediaman residen.
"Kau serius tanya seperti itu padaku?" Max mendengus geli.
Sang Residen tergelak. "Wat? Wat is er mis? Aku bertanya mengenai pendapatmu."
Kedua pria yang hanya selisih satu tahun itu berjalan bersama setelah turun dari dokar. Jefferson memasukkan sepasang tangannya ke dalam saku, masih menunggu balasan rekannya.
"Mijn God, kau tak berhenti membuatku tercengang," Max angkat tangan, menggeleng. "Di tengah pekerjaan kau sering tiba-tiba menghilang, lalu hari ini kau menyuruhku untuk menjemputmu di desa tetangga, terlebih di rumah seorang gadis pribumi?"
"Aku selalu menyelesaikan pekerjaanku lebih dulu sebelum pergi, Max."
Sembari menaiki tangga teras, kedua pria itu masih bercengkerama. Jefferson tersenyum tipis sekali, nampak asimetris. Dia turut mendengus geli.
"Aku bertemu dengannya saat pertama kali sampai di Soerabaja— ah, apa kau mau mendengar tentang gadis ini?" Dia melanjutkan.
Max mengedikkan sepasang alis kecoklatannya, lantas mengangkat bahu setelah menyimpan kedua tangannya di belakang punggung. "Tentu, aku ingin tahu seperti apa gadis pribumi yang telah mengambil hati Tuan Residen ini?"
Masuk ke kediaman residen, mereka melewati beberapa tentara penjaga. Jeff dan Max duduk di kursi ruang depan, pria yang lebih tua nampak menyilangkan kaki, sementara yang satunya mengapit cerutu di bibir dan menyalakan pemantik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Liana
Historical FictionSoerabaja, Hindia Belanda, 1892 "Tolong jangan berikan mawarmu yang indah kepada pria lain, Liana." Jefferson bersua dengan mata polos yang legam khas wanita pribumi, hatinya bergetar dan lidahnya kelu. Air wajahnya yang selalu tenang bahkan tak mam...