6. Senja dan Tengah Malam

3.5K 716 280
                                    

catatan kecil : Mata Jefferson  digambarkan bagai ratna cempaka, golden hour, dan senja atau matahari terbenam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

catatan kecil : Mata Jefferson  digambarkan bagai ratna cempaka, golden hour, dan senja atau matahari terbenam. Ratna cempaka sendiri adalah sebuah batu mulia berwarna coklat keemasan yang bermakna keanggunan dan keseimbangan. Nama lainnya dalam bahasa inggris adalah Topaz.


Selamat Membaca


Hening.

Si gadis pribumi tak menjawab sedikit pun, tertegun ia di tempatnya menapak, memandang Sang Belanda yang masih berdiri dan menatapnya dengan kilau netra keemasan. 

Liana sungguh nampak menciut di hadapan Jefferson yang mendominasi. Pria itu masih menatap lekat, tak ingin berpaling dari sepasang syahdu malamnya Liana. 

Gadis muda itu tak mengerti apa yang Jefferson coba sampaikan terhadapnya. Beberapa saat yang lalu pria ini begitu ramah dengan senyum lembutnya, tapi kini Jefferson terlihat sedikit lebih datar, Liana juga turut merasakan perubahan nada dalam cara pria itu berbicara. Lebih tegas dan terkesan menuntut jawaban. 

Untuk sejenak, sepasang senja dan tengah malam itu bersua, hingga Sang Residen menarik diri. Berdeham pelan, Jefferson menyadari Liana nampaknya sedikit takut akan caranya bertutur. 

"Maksudku, ku harap kau lebih berhati-hati ke depannya," Jefferson segera meralat. "Kau tahu bagaimana kejinya tentara-tentara Belanda di luar sana, sebagian besar dari mereka suka menyiksa dan memeras para pribumi meski tanpa perintah dari atasan." 

Mendengar penjelasan lebih panjang itu, Liana segera mengangguk dengan gestur kikuk khas dirinya. 

"Ah ya, ini." Pria itu tiba-tiba meletakkan kantong plastik lain di samping milik Liana. 

"Apa ini, Sir Jeff?" 

"Untukmu."

Liana agak bingung, dia kemudian membuka kantong plastik tersebut ketika Jefferson tampak mengisyaratkan melalui gestur. Sebungkus gula terperangkap dalam pandangan obsidiannya. 

Si gadis pribumi mendongak untuk menatap Sang Residen. Bertanya melalui pandangan matanya. Bingung apa maksud pria Belanda ini tiba-tiba membawa gula.

Sang pria lantas tergelak. "Bukannya kau tak punya gula?" 

Manik obsidian Liana melebar, ada sebersit perasaan kejut sekaligus malu yang campur aduk. Gadis itu menggaruk pipinya dengan telunjuk, tertawa kecil dengan sangat canggung. "Maaf..."

Si pria Eropa tergelak, menepuk pucuk kepala gadis pribumi dengan lembut. "Mengapa kau minta maaf karena tak punya gula? Lagipula itu... hanya kebetulan saja aku melihat di kediaman residen menimbun gula lumayan banyak, jadi ku ambil saja satu untukmu. Iya, begitu." 

Liana terlihat ragu, gula cukup mahal — bagi Liana — dan kini dia mendapatkannya secara cuma-cuma. "Terima kasih banyak, Sir Jeff."

Jefferson kemudian memilih duduk di kursi kayu yang lusuh, masih kursi yang sama dengan terakhir kali ia datang bertamu. Melepas topi fedoranya dan membuat beberapa anak rambutnya jatuh. Netranya lekat memandangi punggung Liana dengan sebuah senyum, seolah tak sabar menanti kopi Aceh Gayo buatan Si gadis muda.

Mawar LianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang