Selamat MembacaKening mulus itu mengernyit samar, sebuah helaan menyusut di udara, hingga beberapa saat kemudian sepasang kelopak mawar yang melengkung manis itu terbuka, menangkap langit-langit bilik usang yang sedikit rendah.
Liana menggeliat pelan, lantas merintih ketika merasakan beberapa persendiannya masih terasa nyeri. Gadis pribumi itu telah membuka mata sepenuhnya, lalu sepasang alisnya menyatu dengan sebuah tanda tanya kala mendapati sehelai pakaian yang cukup tebal melindungi tubuhnya.
Jas putih gading milik Jefferson.
Mengerjap, ia bangkit dan mencoba untuk duduk dengan susah payah. Menoleh ke sekeliling rumahnya meski tak ada guna, karena pria yang ia cari memang tak ada di sana.
Apakah Sang Residen ada di sini semalam suntuk? Mengapa ia meninggalkan jasnya?
Kerutan di dahi Liana terlihat begitu nyata, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Sayangnya, ia malah tak bisa mengingat terlalu banyak.
Apa saja yang mereka lakukan semalam? Dan kapan Jefferson pergi?
Liana hanya ingat jika Sang Residen datang secara tiba-tiba ke rumahnya dan menemukan kondisinya yang seperti ini, lalu pria Belanda itu membantunya membalurkan daun sirih pada luka-lukanya, dan mereka berbincang.
Tapi gadis itu bahkan tak ingat sampai mana perbincangan mereka dan apa yang mereka bicarakan terakhir kali sebelum jatuh tertidur.
"Liana... aku akan membuat mereka membayar rasa sakitmu. Liana Saraswati..."
Ada sebuah suara familiar yang tiba-tiba memutar tiba-tiba saat ia mencoba untuk mengingat. Itu jelas suara Jefferson, lembut namun berat. Tapi aneh, Liana semakin bingung.
Ah, tidak. Mungkin dirinya hanya berhalusinasi atau bermimpi. Mengapa pria kolonial itu berkata seperti itu? Sepertinya Liana terlalu lelah hingga mendapatkan bunga tidur yang tidak-tidak.
Liana meletakkan jas putih gading Jefferson di atas ranjang, takut kotor dan kusut. Lantas saat menolehkan kepalanya, lagi-lagi ia mengernyit dan dibuat bingung.
Ada sesuatu di meja.
Gadis itu berusaha untuk bangkit, meski memang kaki dan tangannya terasa sakit, tapi setidaknya ia masih bisa berjalan. Berhasil meraih meja, duduklah ia di atas kursi.
"Oh?! Roti dan susu!"
Sebungkus roti yang masih utuh. Masih baru, bukan roti sisa yang berjamur. Di sampingnya, ada susu sapi segar dalam botol kaca. Liana terkejut, benar-benar sangat terkejut hingga lupa menutup mulutnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Liana
Historical FictionSoerabaja, Hindia Belanda, 1892 "Tolong jangan berikan mawarmu yang indah kepada pria lain, Liana." Jefferson bersua dengan mata polos yang legam khas wanita pribumi, hatinya bergetar dan lidahnya kelu. Air wajahnya yang selalu tenang bahkan tak mam...