Selamat MembacaBahkan meski masih tersisa biramat di sekitar nayanika si pribumi, tak lekang dahayunya barang setitik. Kebaya seputih mega melukis akasa membuat kulit kuning langsat oriental Liana kian menawan. Begitu pas di tubuh kecilnya, ayu nian sosoknya.
*Nayanika = mata yang indah
*Mega = awan
*Biramat = lebamTak henti-henti gadis muda itu membuat sang residen mengulas bunga wajah, ratna cempakanya begitu memuja sekuntum mawar hendak merekah, bangga tatkala kebaya pemberiannya begitu pas hanya dengan angan-angan belaka. Jefferson sama sekali tak mengetahui ukuran baju Liana, saat membeli kebaya itu, ia hanya membayangkan sosok kecil nan kurus si gadis pribumi yang telah terlukis abadi dalam akalnya.
"Apakah nyaman kau kenakan?" Ujar sang pria, mengenakan topi fedoranya kembali.
Gadis itu mengangguk, tak kuasa samarkan rasa bahagianya, "sangat nyaman, ukurannya sungguh pas, terima kasih banyak Sir Jeff."
"Jika begitu mari, sebelum matahari semakin meninggi."
Jefferson menyentuh punggung Liana, masih tak memiliki keberanian untuk merangkulnya. Ia bawa gadis itu menuju dokar mewah yang telah menunggu sejak tadi, membukakan pintu dan membantunya untuk naik. Dokar yang ditarik dengan kuda putih gagah nan menawan, membuat Liana yang duduk di atas bantalan terkagum-kagum, tak lekang pula senyum indahnya.
"Berangkat pak," titah Jefferson pada sang kusir.
"Nggeh, Tuan."
Tali kekang ditarik, kuda putih itu meringkik, bahkan suaranya begitu jantan nan perkasa. Dokar pribadi Jefferson mulai berjalan meninggalkan desa, membawa mereka menuju pusat Kota Soerabaja.
Melihat gerak-gerik Liana yang begitu senang bukan kepalang, Jefferson tersenyum. Ia dapati dengan jelas binar-binar dalam obsidian si gadis pribumi tatkala menelisik interior dokarnya, serta merta melongokkan pandangan keluar jendela, mengulas senyum lebar yang manis.
"Pertama kali naik dokar?" Sang residen melempar pertanyaan.
Liana menoleh ke samping, mendongak karena Jefferson begitu tinggi, lantas mengangguk cepat sembari meringis. "Saya tak pernah naik dokar karena memang tak pernah pergi kemanapun, ini pertama kalinya, dan saya bisa menaiki dokar sebagus ini," gadis itu menjelaskan penuh semangat. "Terima kasih banyak, Sir Jefferson."
"Kau tak pernah pergi kemanapun?"
Menggeleng si pribumi, "saya tak pernah keluar desa, paling jauh hanya pergi hutan di ujung desa ini."
Jefferson hanya mengangguk tipis menanggapinya, saat Liana kembali melihat-lihat jalanan, pria itu hanya melirik, sama sekali tak memalingkan pandangan. Fokusnya hanya ada pada Liana. Entah mengapa, namun tiap kali melihat gadis itu tersenyum bahagia, harsa Jefferson begitu membuncah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Liana
Historical FictionSoerabaja, Hindia Belanda, 1892 "Tolong jangan berikan mawarmu yang indah kepada pria lain, Liana." Jefferson bersua dengan mata polos yang legam khas wanita pribumi, hatinya bergetar dan lidahnya kelu. Air wajahnya yang selalu tenang bahkan tak mam...