𝐇𝐚𝐭𝐢𝐤𝐮 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐝𝐮𝐧𝐢𝐚
𝐒𝐞𝐦𝐮𝐚 𝐛𝐞𝐧𝐭𝐮𝐤𝐧𝐲𝐚 𝐤𝐚𝐮 𝐫𝐚𝐲𝐚𝐤𝐚𝐧
𝐌𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐢𝐬 𝐩𝐮𝐧 𝐤𝐚𝐮 𝐩𝐞𝐧𝐮𝐡 𝐭𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠
𝐊𝐮 𝐝𝐢𝐛𝐮𝐚𝐢—ɴᴀᴅɪɴ ᴀᴍɪᴢᴀʜ
Selamat Membaca
"Ik had niet verwacht dat meneer Resident hierheen zou komen om de studenten te ontmoeten." (Saya tak menyangka Tuan Residen datang kemari untuk menemui para murid)
Johannes nyaris tersesat dalam imajiner kelamnya beberapa saat silam, hingga pemikiran negatif itu segera ia tepis jauh-jauh. Ia pikir ada sesuatu yang salah dengan dirinya hingga Sang Residen tak mau menjabat tangan, meski entah mengapa butuh waktu bagi Jefferson untuk membalas jabatan tangan Johannes, namun pria jangkung itu menyambut ramah pada akhirnya di dalam kelas tadi.
Sempat terbesit di benak Si Indo-Belanda itu bahwa Sang Residen adalah orang yang diskriminatif.
Jefferson melukis bunga wajah yang lembut. "Ook wil ik meer weten over de relaties van de drie leerlingen die slachtoffer zijn geworden, misschien weten hun vrienden ook wat de drie kinderen op school deden." (saya pun ingin tahu mengenai pergaulan ketiga murid yang menjadi korban, barangkali teman-temannya pun tahu apa saja yang dilakukan tiga anak itu saat di sekolah.)
"Dit is een nogal vreemd en ongewoon geval," (ini kasus yang cukup aneh dan tidak biasa) Johannes mengangguk, ia jaga gestur dan gerak-geriknya tetap tegap dan santun di depan Sang Residen bersama dua agen polisi di belakangnya.
"Beritahukan pada saya jika anda menemukan sesuatu, Sersan Rudolf."
Kalimat Jefferson membuat Johannes sempat membelalak takjub. Karena biasanya orang Eropa terutama para petinggi tak sudi menggunakan Bahasa Melayu, tapi kini seorang Residen kota besar bercakap dengan Bahasa Melayu, terdengar fasih tanpa kendala, bahkan lebih fasih dari Johannes yang separuh pribumi.
"Mengapa wajah anda begitu terkejut, Sersan?" Alunan tawa lembut menguar dari bibir Jefferson, mampu menyejukkan riak udara Soerabaja yang dinaungi gelora surya.
Menggeleng sembari berdeham pelan, Johannes menimpali. "Anda begitu fasih berbicara Melayu."
"Saya lebih menyukai Bahasa Melayu ketimbang bahasa ibu saya, Melayu begitu indah untuk didengar dan diutarakan, Sersan."
Jefferson van Den Berg begitu luar biasa pagi itu meski ia tak melakukan banyak hal. Bahkan hanya dari caranya berbusana, mengalun kata, hingga gesturnya yang halus seperti aliran air sungai berhasil membuat Johannes menciut. Padahal keduanya memiliki tinggi badan yang hanya berbeda sekian inci, namun sosok Jefferson seolah mencakar akasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Liana
Historical FictionSoerabaja, Hindia Belanda, 1892 "Tolong jangan berikan mawarmu yang indah kepada pria lain, Liana." Jefferson bersua dengan mata polos yang legam khas wanita pribumi, hatinya bergetar dan lidahnya kelu. Air wajahnya yang selalu tenang bahkan tak mam...