06 | Pernyataan Dia

217 39 9
                                    

Tanggal merah adalah salah satu yang paling Kanaya nantikan kedatangannya, karena hanya pada hari ini ponselnya tidak berdering dari anak-anak kantor yang menanyakan segudang pertanyaan mengenai pekerjaan dan tidak membiarkan Kanaya istirahat dengan tenang.

Tanggal merah hari ini, Kanaya ingin menikmati hidupnya kembali menjadi diri sendiri yang seharian hanya beraktivitas di dalam rumah. Kanaya hanya ingin menikmati waktu yang jarang dia habiskan dengan dirinya sendiri, membiarkan seluruh tubuhnya beristirahat tanpa ada yang mengganggunya.

Tapi, Kanaya lupa kalo tanggal merah itu juga menjadi hari libur semua pekerja.

Termasuk kakaknya.

"Mas! Itu punya aku!" Kanaya meneriaki Arthur yang mengambil bagian paha atas ayam goreng yang ada di lemari makan.

Keduanya sama-sama mengambil nasi, tapi karena Arthur mengambil nasi lebih dulu, jadi dia punya kesempatan untuk mengambil lauknya lebih dulu juga dari Kanaya.

Arthur tau, adiknya paling suka memakan bagian paha atas, tapi dia sengaja mengambil bagian itu untuk berada di atas piringnya.

"Ih! Balikin!" Tangan Kanaya ingin merebut ayam yang ada di atas piring Arthur.

"Itu loh masih ada dada, paha bawah sama sayap." Arthur mendekap piringnya, menghalangi tangan Kanaya yang ingin mengambil ayam dari piringnya.

"Ngga, mau itu." Kanaya menatap kakaknya dengan tatapan memelas, dia tidak pernah mempeributkan soal makanan karena Kanaya bisa memakan semua jenis makanan halal, tapi untuk paha atas, karena yang ada di lemari makanan hanya satu dan diambil Arthur, Kanaya merasa kesal.

"Mas... Kan aku kemaren udah ngalah ngga makan lobsternya," ucap Kanaya yang memohon pada Arthur.

"Itu masih ada potongan lain," Arthur kembali menunjukkan wadah ayam goreng yang masih banyak, lalu menunjukkan pada Kanaya potongan yang lebih besar, "Nih, ini gede banget."

"Ngga mau, itu dada." tolak Kanaya.

"Ya kan sama aja dek, dada juga ayam."

"Beda pokoknya, aku mau paha atas." Kanaya menatap Arthur menggunakan tatapan memelasnya.

"Yang paha atas udah ngga ada." jawab Arthur santai.

"Ya makanya kamu aja yang makan dada." Kanaya memberikan potongan dada ayam ke piring Arthur tapi cowo itu menolak. "Mas..." rengek Kanaya, hampir menangis karena selera makannya seketika lenyap karena Arthur yang menjahilinya.

"Yaudah yaudah nih, udah jangan ngambek." Arthur menyerahkan yang Kanaya mau dari piringnya, tapi terlanjur adiknya sudah kesal dan kembali meletakkan piringnya yang sudah berisi nasi itu ke meja makan tanpa mau disentuh lagi.

Arthur panik karena Kanaya benar-benar marah meninggalkan piringnya begitu saja.

"Dek, makan dulu, ini paha atasnya udah aku balikin."

"Ngga mau!" Kanaya melengos.

Mungkin karena dipengaruhi hormon hari pertama datang bulan, Kanaya malah menangis sejadi-jadinya begitu menginjakkan kaki untuk naik ke kamarnya. Dia terduduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Tangisan Kanaya yang pecah itu didengar Pak Gian yang baru saja selesai mencuci mobil di halaman rumah dan mendapati anak perempuannya menangis di anak tangga dengan tersangka utamanya yang sekarang cengar cengir melihat ke arah Papanya karena ketauan dia yang membuat Kanaya menangis.

"Diapain, mas?" tanya Pak Gian pada Arthur yang tertawa pelan, meskipun tawanya canggung, takut dimarahi.

Tanpa menjawab Papanya, Arthur menghampiri Kanaya dan menekuk lututnya agar mensejajarkan posisinya dengan Kanaya.

Behind the Story • KaistalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang