21 | Kanaya dan Jogja

347 51 28
                                    

Pagi itu Kanaya bangun lebih dulu dari Kavi yang masih tertidur dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Kanaya memunguti kaosnya yang berserakan di lantai dan buru-buru masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum melaksanakan kewajibannya. Setelah itu Kanaya menyalakan hair dryer yang dia bawa dari rumah untuk mengeringkan rambutnya dan membangunkan Kavi sebelum dia keluar dari kamar.

Langkahnya berjalan menuju dapur, menemui Bu Ratih yang terlihat sudah berada disana untuk membuat teh hangat.

Kanaya tersenyum menyapa Bunda, "Dingin banget ya Bun?"

"Iya, ini makanya Bunda bikin teh hangat, Naya mau?" Bunda menawarkan membuat teh hangat sekalian untuk Kanaya, tapi perempuan itu menolaknya dengan halus.

"Ga usah Bun, nanti aku bikin sendiri aja."

"Ga papa sayang, biar sekalian Bunda bikinin, ya?" Bunda tetap kekeuh ingin membuatkan menantunya minuman hangat di pagi hari dengan suhunya yang lumayan dingin.

Kanaya mengambil alih gelasnya saat Bunda membuka kotak wadah teh celup yang disediakan oleh pihak villa. Setelah Bunda memasukkan tehnya ke gelas, Kanaya menuangkan air panas yang sudah disiapkan Bunda itu ke dalam gelasnya. "Makasih, Bunda."

"Sama-sama." Bu Ratih tersenyum lembut menatap Kanaya. "Kavi belum bangun? Udah Subuhan belum dia?"

"Tadi sebelum keluar, aku udah bangunin kok Bun."

"Oalah ya sudah, kamu temenin Bunda duduk di halaman belakang ya?" Kanaya menyetujui permintaan Bu Ratih dengan senang hati.

Kanaya mengikuti Bunda yang berjalan ke arah halaman belakang villa yang cukup luas, yang semalam digunakan untuk membakar daging bersama-sama, keduanya duduk di kursi teras dan meletakkan teh hangat masing-masing ke atas meja.

Suasana pagi hari di Bali memang sangat sejuk dan menenangkan. Tidak heran banyak orang yang memimpikan mempunyai hunian di kota ini.

Rasanya menghirup udara pagi saja sudah membuat Kanaya bahagia.

"Kamu sudah bicara sama Kavi mengenai tempat tinggal kalian toh, nduk?" tanya Bu Ratih hati-hati.

Kanaya mengangguk pelan, "Iya, kemarin kami diskusi menyewa apartemen atau langsung beli satu unit. Tapi setelah banyak pertimbangan, aku sama Kavi lebih memilih nyewa aja, Bun. Lebih hemat dan kita juga niatnya cuma buat tempat tinggal sementara aja sambin nyiapin uang buat beli rumah."

Bu Ratih memahami situasi yang dihadapi Kavi dan Kanaya sekarang. Mereka toh menikah bukan karena direncanakan, dan walaupun Kavi sebelumnya sudah memiliki niat ingin menikahi pacarnya yang sekarang berubah jadi mantan itu pernah berterus terang pada kedua orangtuanya kalau dia hanya mempunyai tabungan untuk menyewa tempat tinggal, kalau membeli rasanya masih sangat berat. Makanya untuk menebus rasa bersalah Bu Ratih dan Pak Wisnu memberikan bagian yang lebih banyak pada Kavi dari hasil penjualan tanah agar Kavi bisa membeli hunian untuk rumah tangganya dengan Kanaya.

"Uang yang kemarin dikasih Bunda sama Ayah, masih belum memenuhi target kalian atau bagaimana?" Bu Ratih juga berhati-hati ketika menanyakan ini, meskipun yang beliau tanyai adalah Kanaya, sahabat kecil putra bungsunya sekaligus anak dari sabat dekatnya yang juga Kanaya sudah Bu Ratih anggap sebagai putrinya sendiri dari bayi itu, tetap saja Bu Ratih tau kalau bagaimanapun, membicarakan finansial putranya dengan sang menantu bisa saja menjadi sebuah konflik jika salah satu pihak salah paham.

Kanaya menjawabnya dengan bijak, "Bukan belum memenuhi, Bun. Uang dari Bunda dan Ayah itu jauh lebih dari cukup untuk kami berdua, karena kalopun kami nantinya membeli rumah, kami belum ada keinginan untuk beli rumah yang mewah. Menurut kami rumah sederhana saja sudah cukup untuk sekarang. Tapi dengan uang sebesar itu, Naya sama Kavi setuju untuk memutar uang itu supaya bisa kembali menghasilkan. Kami memutuskan membuat uang itu kembali bekerja, bukan sebagai uang pasif yang digunakan langsung tanpa sisa. Uang itu berharga karena hasil dari kerja keras Ayah dan Bunda juga. Kalo untuk menyewa hunian aja, rasanya tabungan Kavi dan Kanaya sudah sangat mencukupi."

Behind the Story • KaistalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang