Malam itu Kanaya sama sekali tidak bisa tidur karena memikirkan ucapan Kavi saat keduanya berniat kembali masuk ke rumah setelah pembicaraan mereka di teras.
Kanaya berharap apa yang diucapkan Kavi tadi hanya sebatas bercandaan seperti yang biasa Kavi lakukan untuk menghidupkan suasana. Tapi Kanaya menarik napas berat ketika menyadari apa yang Kavi katakan memang serius karena cowo itu langsung pamit pergi keluar sebentar untuk memberikan Kanaya ruang dan mau tidak mau Kanaya memikirkan itu terus-menerus jawaban atas pernyataan Kavi yang terlalu berisik memutar di kepalanya.
Sudah empat jam dari kepergian Kavi dan belum ada tanda-tanda cowo itu akan kembali ke rumah Kanaya.
Karena pikirannya yang masih rumit, Kanaya memutuskan kembali turun ke ruang tengah untuk menyalakan televisi sementara dirinya duduk di sofa dengan semua pikiran yang ada di kepalanya.
"Kok belum tidur, dek?"
Kanaya menoleh ke arah pintu kamar Arthur yang dibuka, kakaknya itu menghampiri Kanaya dan duduk di sebelahnya. "Tadi Kavi pergi?" tanya Arthur yang diangguki Kanaya.
Kanaya tidak sengaja menarik napas berat sampai Arthur yang disampingnya menoleh dan tersenyum mengacak rambut adiknya. "Kenapa sih? Berat banget?" tanya Arthur yang sebenarnya khawatir sesuatu terjadi pada Kanaya. Arthur mengenal betul adiknya seperti apa, Kanaya sedang tidak baik-baik saja malam ini, meskipun perempuan itu menggeleng saat menjawab pertanyaan Arthur.
"Cerita aja, mas bakal dengerin." bujuk Arthur dengan suara lembut, takut Kanaya memendam bebannya sendiri dan Arthur paling tidak suka melihat adiknya sedih seperti ini.
Kanaya awalnya tidak mau buka suara, dia tetap kekeuh menjawab Arthur bahwa dia baik-baik saja.
Tapi setelah menatap kakaknya, sorot mata Kanaya kembali berubah sendu, membuat Arthur tersenyum dan memeluk Kanaya tanpa bicara.
Yang Arthur takutkan, penyebab Kanaya seperti ini adalah karena bertengkar dengan Kavi saat dirinya tadi pergi ke rumah pak RW untuk mendiskusikan penutupan jalan di hari pernikahannya. Arthur awalnya tidak berani bertanya, tapi daripada dia penasaran, akhirnya dia memutuskan mengajak Kanaya bicara.
"Kenapa? Kamu berantem sama Kavi?" tanya Arthur.
Kanaya sekali lagi menarik napas panjang, dia tidak menangis, hanya sedikit sedih karena Arthur sepeduli itu pada Kanaya. Kakaknya selalu jadi orang pertama yang akan tau kalau Kanaya mempunyai masalah, dan dia juga yang akan selalu mengajak Kanaya bercerita, mendiskusikan jalan keluar dengan menawarkan bantuannya.
Semenyebalkan apapun Arthur saat mengusili Kanaya, tetap saja, laki-laki itu sangat baik menjalankan perannya sebagai kakak kandung Kanaya.
"Ngga berantem, tapi, ada sesuatu yang tadi dia omongin waktu ngobrol di depan." ucap Kanaya menunduk sambil melihat kuku-kuku tangannya.
"Kavi ngomong kasar?" tebak Arthur yang dijawab gelengan Kanaya.
Kavi tidak pernah menggunakan kata-kata kasar yang melukai hati Kanaya. Mereka sudah terbiasa berbicara dengan bahasa yang kasar, tapi dalam konteks bercanda dan keduanya sama-sama tidak keberatan. Bahkan Kanaya pun mengakui dia bukan perempuan baik-baik yang tidak pernah berbicara kotor. Tapi mereka tau batasan untuk berbicara dengan bahasa sepetinya itu hanya saat berdua.
"Tadi tuh Kavi bilang, kaya... ngga tau deh itu becanda apa bukan. Tapi kalo becanda, harusnya aku ngga mikir kemana-mana, mas." cerita Kanaya ambigu, Arthur bahkan tidak paham apa yang Kanaya bilang.
"Maksudnya? Dia ngomong apa ke kamu?"
Kanaya meraup wajahnya, belum menjawab Arthur saja telinganya sudah memerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind the Story • Kaistal
Fanfic"Tuhkan, putus lagi. Karma sih lo, makanya jadi cowo jangan kebanyakan gaya." "Apaan sih, lo juga jomblo mulu." "Masih mending gue lah, ngga pernah galau. Ga kaya lo gagal tunangan dua kali." "Berisik." Kavian Pradipta merasa kesal karena selalu di...