9 | Pergi

24 4 0
                                    

Jangan lupa vote & comment biar makin semangat upnya😉

•••

happy reading!

ฅ'ω'ฅ

Maya kembali terduduk lemas di atas sofa, ia menatap kosong wajah Varel, mencari tanda kalau ucapan laki-laki itu tidak benar. "Lu bercanda."

Varel menggelengkan kepalanya, "Gue harap juga gitu pas di telepon bunda. Tapi sumpah mati, May ... gue serius."

Maya menggeleng kepala pelan, dia masih tidak percaya dengan Varel, dengan ucapannya, dengan faktanya. Pandangannya mulai kabur, dadanya terasa sakit. "Engga lu bercanda!" pekiknya.

Varel langsung berdiri dan berjalan menghampiri Maya, kedua tangannya menyentuh pundak perempuan itu dengan lembut. "Gue minta maaf, May. Maaf gue ..." ucapannya terpotong karena laki-laki itu juga mencoba untuk menahan pedihnya kenyataan.

Maya menatap kedua mata Varel yang sama berkaca-kacanya seperti dirinya. Dadanya terasa begitu sesak, tubuhnya bergetar, Maya mengepal kuat kedua tangannya sampai kuku-kuku panjangnya itu menusuk ke telapak tangannya, perutnya terasa mual seperti dipukul sangat kuat.

Kenapa? Kenapa ini terjadi? Baru beberapa jam yang lalu Maya melakukan panggilan video bersama mamanya, baru beberapa jam yang lalu Maya melihat wajah mama dan bangnya, baru beberapa jam yang lalu ia memeluk tubuh kedua orang kesayangannya itu. Kenapa? Kenapa secepat itu?

"Engga! Lu bohong, Rel! Lu bohong!" Maya berteriak, air mata yang tadinya menggenang di matanya kini mengalir jatuh ke membasahi pipinya. "Brengsek lu! Lu pikir ini lucu, hah?!" lanjutnya, Maya mencoba melepaskan tangan Varel yang berada di bahunya.

Varel semakin kuat menahan Maya. "May, May udah."

"Lepasin gue! Lu bohong, anjing!" Maya terus memberontak, bahkan kali ini ia memukul pelan dada Varel, meskipun perlahan Maya kehilangan tenaganya. Varel terpaksa menggenggam kedua tangan Maya berusaha untuk memberhentikan kehisterisannya. "Lepasin gue, Rel ..." tubuh Maya melemah, suaranya terdengar lirih dan sudah tak memberontak lagi.

Varel menarik tubuhnya dan memeluknya erat. "Gapapa, May. Nangis aja, gapapa." ujarnya sembari mengelus kepala dan punggung perempuan yang sedang ia dekap. "Berat banget pastinya buat lu, May."

Maya yang biasanya selalu marah jika disentuh oleh Varel, kini hanya terdiam lemas menerima pelukannya. Bahkan kali ini Maya membalas pelukan dari Varel begitu erat hingga mencengkeram seragam kampus laki-laki itu. "Abang ..." lirihnya.

Mereka berdiam diposisi itu untuk sesaat. Maya sedikit demi sedikit mulai menenang, meskipun masih menangis di dekapan Varel. Varel perlahan melepas pelukan mereka lalu menyejajarkan wajahnya dengan Maya. Maya menatap wajah Varel yang terlihat prihatin padanya. "Kita pulang ke Bandung, ya. Semoga aja mama bisa cepet pulih, terus kita ... ketemu sama Ezra." ujar Varel, ibu jarinya mengusap air mata yang membasahi pipi Maya, meskipun percuma karena air matanya akan terus mengalir di situ.

Maya mengangguk pelan, bibirnya bergetar. Hanya mendengar nama sang abang saja sudah membuatnya semakin ingin menangis.

Tangan Varel kini beralih kembali menyentuh pundak Maya, "Lu siap in aja barang-barang yang lu mau bawa, nanti biar sama gue yang packing-in ke koper lu, oke?" ucap Varel.

Maya mengangguk lagi. Ia mencoba untuk berdiri, meskipun tubuhnya terasa begitu lemas dan tak berdaya. Varel membantunya untuk berdiri dan mengantar Maya ke kamarnya. Lalu, laki-laki itu beranjak ke kamarnya untuk berkemas terlebih dahulu, sembari menunggu Maya menyiapkan perlengkapannya.

Alcohol FreeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang