12 | Trauma triggers

17 4 0
                                    

Happy reading!

ฅ'ω'ฅ

Hal yang paling tak mengenakkan adalah ketika kita terbangun di pagi hari dari tidur yang terasa panjang lama dengan perasaan hampa. Ini yang Maya rasakan sekarang, cahaya matahari yang masuk ke dalam kamarnya, hawa dingin di pagi hari yang menusuk kulit, badan yang terlingkup selimut, hanya mengandalkan suhu tubuh sendiri sebagai penghangat. 

Seharusnya keadaan ini bisa membuat perasaan nyaman. Namun sayang, tidak hari ini untuk Maya. Ia hanya termenung, matanya yang sembab tak karuan adalah bukti kalau dia telah menangis semalaman.

Maya memang pulang ke rumah, tapi rasanya bukan seperti rumah. Kosong dan sepi, walaupun dia tidak sendirian, ada bunda dan Varel yang ikut menemani, menginap bersamanya di rumah. Kadang ayah Varel juga datang kemari, tapi pria itu lebih memilih tidur di rumahnya. Lagi pula, jarak rumah Maya dan Varel di Bandung hanya terpisah oleh beberapa rumah.

Maya membangunkan dirinya menjadi posisi duduk dan melirik ke samping, ke lemarinya yang di pintunya tertempel cermin cukup besar. Dari pantulannya itu Maya menyadari kalau dirinya semakin mengurus, padahal menurutnya dia hanya tak makan selama 3 hari, yang masuk ke dalam tubuhnya selama ini hanyalah nikotin dari rokok yang ia hisap selama 3 hari itu. Ia menyepelekan tubuhnya sendiri, 'Lebay banget,' batinnya berkata.

Kakinya bergerak turun dari kasur, disusul dengan tubuhnya yang berdiri lemas. Perutnya sakit, bukan lapar lagi yang dia rasakan, tapi tetap saja Maya tidak peduli. Bahkan Maya bingung apa yang harus ia pikirkan sekarang. Otaknya kosong, Maya membiarkan tubuhnya bergerak begitu saja. Dia melangkah keluar kamar membawa hanphonenya meskipun tidak tahu akan berbuat apa ketika sudah di luar nanti.

Ketika dirinya keluar dan menutup pintu di belakangnya, Maya disuguhi oleh wajah yang terkejut dan bingung dari Rima dan Varel yang sedang ada di dapur. Maya mengernyit, ikut bingung.

Oh iya, Maya baru ingat dia juga tidak keluar kamar selama 3 hari setelah pemakaman mama dan abangnya.

Rima menghampirinya, "Udah mendingan, sayang?" wanita itu mengelus puncak rambutnya, "Kita sarapan dulu, yuk." ajaknya sembari menarik tangan Maya, membawanya ikut ke dapur.

Maya yang belum merespon hanya tersenyum tipis saja dan pasrah. Ia mendudukkan diri di meja makan bersebelahan dengan Varel yang sedang bermain dengan hanphonenya.

"Maya sama Arel mau sarapan apa?" tanya Rima sembari membuka kulkas.

"Terserah bunda aja Arel mah, bun." Varel menjawab dengan mata yang masih berfokus ke handphonenya.

"Mhm ... nasi goreng aja, ya? Biar cepet." usul Rima dan mengambil bahan-bahan masakan dari dalam kulkas. Wanita itu mulai memasak.

Maya memperhatikan Rima, sesekali ia melirik ke Varel yang tidak berucap apa-apa kepadanya. Biasanya laki-laki itu selalu mengganggunya dengan berbagai cara, tapi mungkin kali ini Varel sedang mengerti dengan keadaannya.

Melihat posisi mereka, membuat Maya teringat dengan rutinitas paginya di saat sebelum masuk kuliah. Maya yang masih menggunakan seragam, Varel yang sebagai abangnya bersiap-siap bekerja, Rima sebagai mamanya yang memasakkan sarapan untuk mereka berdua. Meskipun tidak ada sang papa, tapi mereka masih berbahagia bersama saat itu. Dan sekarang ...

Maya tertunduk dan tersenyum pahit, baru 3 hari berlalu tapi ia sudah sangat rindu dengan keluarganya. Maya ingin meninggalkan tempat ini rasanya, dan melupakan semua rasa sakit yang ada di dalam tubuhnya.

Bandung. Tempat tinggalnya, tempat lahirnya, rumahnya. Membangun trauma yang mendalam untuknya. Maya berpikir keras, mempertimbangkan apa yang sebenarnya inginkan. Yang pastinya yang terbaik untuk keadaannya saat ini.

Alcohol FreeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang