13 | Aku

13 4 0
                                    

🎶Now playing Kekal - Nadin Amizah🎶

•••

Happy reading!

ฅ'ω'ฅ

Bandung terlalu indah untuk menjadi tempat yang membuat trauma, jadi lebih baik ... Maya tinggalkan tempat ini untuk sementara. Sampai rasa sakitnya hilang dan sembuh dengan sendirinya. 

Tapi ternyata, pulang ke Jogja tidak membuat keadaan Maya membaik. Perempuan itu terkena demam dan juga nafsu makannya yang menurun drastis, tidak memungkinkan Maya untuk masuk kampus seperti biasanya. Bahkan Varel sampai ikut tidak masuk kampus juga karena tidak mau meninggalkan Maya dengan keadaan seperti ini meskipun hanya sebentar.

Risca yang masuk ke dalam kamar Varel membuat ketiga laki-laki yang sedang bersantai menatap ke arahnya. 

"Gimana, Ris?" Varel yang sedang terduduk di meja komputernya sembari bermain gitar itu menanyakan keadaan Maya, karena Risca habis dari kamar perempuan itu.

Risca membaringkan tubuhnya di kasur milik Varel bersebelahan dengan Gardi. Ia menghela napas panjang, "Ga tega banget gue. Maya ga pernah kayak gini sumpah," jawabnya dengan wajah yang putus asa dan prihatin. "Tapi dia ngehabisin buburnya sih,"

"Gapapa, yang penting Maya udah mulai mau makan lagi," ujar Gardi yang berusaha mengurangi rasa tak enak Risca.

"Sekarang lagi ngapain si Maya?" tanya Adi membangunkan diri dari duduknya di kursi drum menghampiri sembari menyilangkan tangan di atas dada.

"Tidur," Risca menjawab.

Adi mengangguk paham.

Varel menyenderkan tubuhnya di punggung kursi mengusap wajah kasar, frustrasi dengan ini semua. Bukan salah Maya, ini sudah menjadi tugasnya untuk merawat perempuan itu, tapi tidak salah kan kalau Varel berharap Maya cepat membaik?

Risca melirik ke arahnya dan tersenyum, "Thanks lho, Rel, udah mau rawat Maya. Sedekat-dekatnya gue sama dia bakal tetep kalah sama lu yang udah dari lahir kenal sama Maya," perempuan itu terdiam sejenak, terlihat menahan rasa sesak didadanya karena ikut kasihan dengan keadaan sahabatnya, "Gue sama anak-anak cewe yang lain sayang banget sama Maya, but the fact that you the one who is here for her even though she hates you that much proof it all that you really cared for her."

Varel ikut tersenyum dengan Risca. 

Gardi terbangun dari baringnya, ia melirik ke arah jam tangannya yang sudah menunjukkan jam 4 sore. Dia terdiam sejenak menatap ke arah Varel, memikirkan sesuatu, "Besok kita show di Primal kan?" tanyanya.

Varel mengangguk, "Kenapa emang?"

"Ajak aja Maya. Kita hibur aja dia, udah sembuh juga kan? Dari pada dia sendirian di kamar, yang ada dia makin kepikiran."

Adi mengangguk setuju, "Lebih bagus lagi kita gausah nunjukin rasa prihatin kita juga, sebisa mungkin bikin dia ngerasa kaya hari-hari biasanya. Jadi Maya bisa balik lagi juga kaya dulu-dulu," ucapnya. "Maya ga mungkin lupa, sih, sama kejadian yang nimpa dia. Tapis seengganya kita bikin dia lupa sama rasa sakitnya," lanjutnya.

Varel tersenyum gemas karena tidak bisanya temannya ini jadi serius begini, "Tumben lu bijak, Di."

Adi yang mendengar itu langsung memegahkan diri, "Oh iya dong, jelas."

Teman-temannya tertawa melihat kelakuannya. Varel terdiam sejenak. Ia setuju, sangat setuju malahan. Varel memikirkan apa yang akan dia nanti berikan ke Maya, sesuatu yang dapat menyadarkan Maya kalau dia tidak sendiri. Ada dirinya dna juga semua teman-temannya yang akan selalu menjaga perempuan itu.

"Entar gue pikirin," ujar Varel, "Udah sore juga, ga enak sama lu pada."

"Gue mau balik kalau gitu," ujar Risca sembari membangunkan dirinya. Ia menghampiri Varel dengan tangannya yang siap memberikan fist bump, "Thanks ya, Rel."

Varel mempertemukan kepalan tangannya ke Risca, ia mengangguk dengan senyuman tipis.

Gardi mengambil tas gitarnya siap untuk pulang juga, "Gue anter, Ris."

"Yaudah, ayo. Lu juga mau balik, Di?" tanyanya ke Adi yang memasukkan stick drumnya ke tas miliknya.

Laki-laki itu mengangguk.

Varel yang berdiri dari duduknya, memperhatikan interaksi teman-temannya. Rasa kagumnya ini terhadap teman-temannya itu menumbuh, mereka seperti rumah kedua baginya.

Varel mengantar mereka sampai ke depan rumah. Saat mereka semua pergi, rasanya terasa hampa. Selalu saja begini. Tapi biasanya rasa hampa itu hilang ketika Maya bersamanya, kebiasaannya menggoda perempuan itu juga bentuk rasa inginnya untuk menghilangkan kehampaannya. Maka dari itu, Varel janjikan kepada diri sendiri, ia akan membuat Maya lupa dengan rasa sakitnya. Dan itu pasti. Sampai akhirmya Maya kembali seperti dulu.

ฅ'ω'ฅ

Maya tidak benar-benar tertidur, dia tidak bisa tidur, sudah banyak waktu yang Maya habiskan untuk dirinya tertidur. Tubuhnya yang dingin terlingkup oleh selimut berharap kehangatan dari dalam sana. Ingin sekali Maya bergerak, bangun, melakukan sesatu aktifitas, tapi tubuhnya ini seperti dihisap oleh kasurnya. Bahkan untuk bermain dengah handphonenya saja Maya tidak memiliki tenaga untuk itu.

Sudah dua jam berlalu dari terakhir Risca mengunjunginya, mungkin teman-teman Varel saat ini sudah pulang semua. Matahari yang asalnya masih menerangi kamarnya kini sudah terbenam.

Maya memelu tubuhnya sendiri. Ia rindu kelurganya, sangat rindu. Sampai-sampai Maya berharap Tuhan mengambil nyawanya sekarang juga supaya bisa bertemu mereka. Kenapa dia harus ditinggalkan didunia yang kejam ini sendirian? Apa gunanya hidup didunia ini jika berakhir dengan kesendirian?

Air matanya mengalir ke samping, membasahi bantal miliknya. Semua penyesalan dan pertanyaan terus ada di benaknya, tak kunjung hilang seperti sebuah noda yang membekas. Kalau saja dulu ia lebih bisa menghargai waktu bersama keluarganya. Kalau saja dulu ia lebih mengatakan rasa sayang kepada keluarganya. Kalau saja ia tidak menjadi anak dan adik yang durhaka kepada keluarganya.

"Adek cape ..." lirih Maya.

"Kenapa adek sendirian? Adek pengen ikut juga."

Maya semakin mengeratkan pelukan ke dirinya sendiri itu, berharap kalau keluarganya memeluk dan ada bersamanya saat itu juga. Tidak pernah Maya merasa begitu sendiri seperti ini.

Dadanya semakin sesak dirasanya. Dia tidak bisa tenang. Maya butuh seseorang, untuk memeluknya, siapapun, Maya ingin dipeluk.

Tangan Maya bergerak mengelus pundaknya sendiri, "Tenang ... tenang ya sayang ... adek ga sendiri ..."

"... yang ikhlas ya sayang, ikhlasin ayah ya. Adek kuat, adek kesayangan ayah harus kuat."

Kata-kata itu adalah kata yang diucapkan oleh mamanya dulu, saat ayahnya meninggal ...

"Ga mau, ma! Ga mau, adek ga mau!" Maya menangis histeris di pelukan mamanya.

Maya terus mengusap-usap pundaknya, seolah dia dibelai dan juga dipeluk oleh seseorang. Pada akhirnya, Maya akan tetap sendiri. Semua manusia akan tetap sendiri. Dan yang kita punya hanyalah diri sendiri. Yang memeluk, yang menyayangi, yang menjaga kita, pada akhirnya hanya adalah kita sendiri.

ฅ'ω'ฅ

thank you for reading!

07/08/2024

Alcohol FreeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang