Bab 4

48 26 0
                                    

Empat hari berlalu, dan empat hari itu jugalah Sava kehilangan Rival

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Empat hari berlalu, dan empat hari itu jugalah Sava kehilangan Rival. Banyak hal yang ingin ia lakukan bersama Rival. Namun, takdir berkata lain. Ia harus menahan segala rindu di dadanya, hanya untuk melindungi Rival dari orang-orang yang telah mencelakainya.

"Va, kayaknya emang orang yang selalu kirim gue pesan itu, dia orang baik, deh. Apa kita cari aja tuh orang?" Nicho duduk di atas sofa, sementara Sava tengah melamun di atas ayunan.

Kini, mereka berdua sedang berada di rumah Sava. Namun, beberapa hari kemudian, mereka akan sepakat untuk pindah ke apartemen milik Sava.

Sava menarik paksa lamunannya itu, untuk menatap ke arah Nicho. Ia tersenyum getir menatap Nicho. "Emangnya ada yang kayak gitu? Lo gak curiga sama sekali, kalo misalkan aja dia itu salah satu orang yang celakain Rival?"

Nicho kembali berpikir, akan apa yang sudah dikatakan oleh Sava. Pikirnya, mungkin ada benarnya juga Sava berkata demikian. Bukan tidak mungkin, kan, jika itu memang yang sebenarnya terjadi?

"Terus, lo mau kita gimana?" Nicho balik menatap ke arah Sava. Sementara, Sava memutuskan kontak mata mereka, dengan menatap ke arah lain.

"Gue udah pikir semuanya selama ini. Kita harus terus sembunyiin ini semua dari anggota yang lain. Karena kita udah tau, kan, kalo banyak dari mereka yang berkhianat? Nah, dari situ juga kita biarin mereka mau lakuin apa, kita fokus aja dulu sama kesembuhan Rival. Dan selama itu juga, kita coba cari-cari petunjuk dari apa yang orang itu kasih infonya ke kita, dan kita bisa tau dia itu sebenarnya siapa."

Nicho menatap dan mendengarkan semua penjelasan apa yang dikatakan oleh Sava. "Bingo! Gue suka cara lo berpikir. Emang, ya, Rival gak pernah salah pilih calon istri."

Sava langsung menatap ke arah Nicho. "Maksud, lo?"

Mampus sudah hidup Nicho, ia tak sengaja mengutarakan kalimat kematian itu pada Sava. "Gak. Gak-papa. Yuk, kita mulai rencananya."
***

"Jadi, kamu maunya gimana, Nak?" Seorang pria yang cukup berumur, tengah duduk dengan tenang di sofa.

Farah yang sebelumnya hanya menundukkan kepalanya, takut akan keputusan yang akan di ambil oleh Abi-Nya. Ia kembali menatap ke arah pria yang ada di hadapannya, dengan ekspresi wajah penuh harap.

"Farah sudah memikirkan semuanya semalam, Abi." Farah menatap dengan mantap, pada Abi-Nya berharap agar pria itu menyetujui keputusan dirinya.

Abi yang melihat sebongkah keyakinan yang tercetak jelas pada wajah anaknya pun, mencoba untuk sedikit memberikan sebuah kepercayaan pada Farah.

Abi menatap ke arah istrinya—Umi, memberikan sebuah kode, apakah istrinya itu menyetujuinya atau tidak.

Setelah mendapatkan jawaban dari Umi, Abi mengembuskan napas kasarnya. "Ya sudah, kalo gitu, apa yang sudah kamu pikirkan?"

Terlihat, Farah langsung tersenyum setelah mendapatkan jawaban yang sedari tadi ia harapkan. "Jadi, Farah mau bawa Rival ke pondok, Bi."

Gila? Tentu saja itu keputusan yang sangat tak masuk akal. Bagaimana bisa Abi membiarkan seorang pria masuk ke dalam pondoknya, yang sudah sangat jelas mereka tak tahu dengan pasti, pria itu siapa.

Rival Zaroun [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang