"Zal, Rizal!" Azzam yang memang sudah panik, karena Rizal yang tiba-tiba pingsan, ia dengan segera meminta tolong pada para santri yang mulai berkerumun.
Kemudian, beberapa santri dan Azzam mencoba membantu membawa Rizal ke dalam rumah Umi. Setelahnya, Rizal ditidurkan pada sofa yang ada di ruang tamu. Salah satu santri di sana, mengambil segelas air putih untuk Rizal minum saat ia telah siuman nanti.
"Ya Allah, astaghfirullah. Rizal kenapa, Zam?" Umi dengan sangat tergesa-gesa, segera berlari menuju kerumunan yang di mana ada Rizal di sana.
"Rizal tadi tiba-tiba pingsan, Umi. Azzam juga gak tau, Rizal kenapa." Azzam segera merespon pertanyaan dari Umi, agar Umi tidak terlalu khawatir.
"Memangnya, tadi Rizal lagi ngapain, bisa tiba-tiba pingsan gitu?" Umi kembali bertanya, dengan tangannya yang terus menggenggam tangan Rizal, berharap agar Rizal segera terbangun dari pingsannya.
"Tadi ada orang yang titipin surat buat Rizal ke Azzam, Umi. Terus Azzam langsung kasih surat itu ke Rizal. Begitu Rizal baca isi suratnya, dia langsung pingsan." Azzam bercerita awal mula Rizal bisa sampai pingsan, tanpa ada sedikit pun yang tertinggal.
Umi mendengar cerita dari Azzam dengan seksama, dengan tangannya yang terus setia mengelus-elus tangan Rizal yang lemah. Sementara itu, para santri tadi yang membantu Rizal, mereka sudah kembali pada aktivitas sebelumnya yang mereka tinggalkan.
"Farah nya ke mana, Umi?" Azzam masih diam di sana menunggu Rizal siuman, bersama dengan Umi. Azzam sendiri tak ingin jika ada hal buruk lagi terjadi pada Rizal, juga Umi. Maka dari itu, ia memutuskan untuk tetap ada di sana.
"Farah sedang pergi pengajian dengan Lala dan Abi. Tempat pengajiannya cukup jauh, mungkin mereka akan tiba malam hari. Kamu coba kabari Farah, kalo Rizal pingsan." Umi meminta Azzam untuk segera mengabari Farah, mengenai kondisi Rizal saat ini.
Saat Azzam hendak mengambil ponsel yang ada di dalam saku bajunya, ia teringat akan sesuatu. "Tapi, Umi, apa nanti Farah gak bakalan khawatir, kalo tahu Rizal pingsan mendadak gini?"
Umi terlihat seperti sedang menimang-nimang akan ucapan dari Azzam barusan. Ada benarnya juga Azzam berkata demikian, namun, apa nanti Farah gak marah, kalo dia gak di kasih tahu, jika Rizal pingsan?
"Gak-papa, kasih tau aja. Umi takutnya dia malah marah, kalo gak di kasih tau Rizal pingsan." Umi memutuskan untuk tetap meminta Azzam, mengabari Farah.
Azzam langsung mengangguk, dan dengan segera jari-jemarinya berselancar, sibuk mencari nomor telepon Farah di dalam gadget, yang ada di kedua tangan Azzam.
Azzam memutuskan untuk memberitahu Farah, hanya dengan lewat pesan teks saja. Karena, ia pikir, ia takut mengganggu Farah yang sedang fokus pada pengajian di sana.
Setelahnya, Azzam kembali fokus pada Rizal yang masih setia menutup matanya, dengan kesadarannya yang entah ke mana. Sementara, Umi juga terus menggenggam tangan Rizal, dengan tangan kanannya yang terus mengkipas-kipasi wajah Rizal.
***Di lain tempat, Farah ketika sedang menyimak tausiyah pada saat pengajian berlangsung, ia mendapatkan sebuah notifikasi di dalam ponselnya. Dengan segara, Farah melihat notifikasi apa yang ada di sana.
Terlihatnya, raut wajah Farah yang langsung memucat di balik cadar merah maroon-nya. Ia dilema diantara ia takut akan terjadi sesuatu pada Rizal, juga ia takut jika nanti Rizal akan kembali mengingat ingatannya yang hilang itu.
Lala yang melihat reaksi Farah setelah melihat notifikasi di dalam ponselnya, mengerutkan kening keheranan. "Farah, kamu gak-papa?" Lala memegang tangan Farah, dengan Farah yang masih setia menggenggam ponsel di kedua tangannya.
Farah yang mendapatkan genggaman tangan dari Lala dengan tiba-tiba itu, Farah langsung menoleh ke arah Lala. "Rizal ... Rizal pingsan!"
Farah mengatakan hal tersebut dengan terbata-bata. Ia terlihat sangat khawatir, jelas pada manik matanya menyiratkan hal tersebut. "Mau pulang sekarang?" Lala menawarkan hal tersebut pada Farah, agar Farah sedikit lebih tenang, juga memberikan pilihan padanya.
Farah menggeleng. Ia tidak tahu, akan apa dari arti dia menggeleng. Entah karena ia takut meninggalkan Abi sendirian di sana, atau ia takut bagaimana ia akan menghadapi Rizal di pondok nanti. Entahlah, semuanya seolah bercampur menjadi satu, mengganggu jalan pikir Farah pada saat itu.
"Gimana? Mau pulang duluan, atau tunggu selesai?" Lala kembali memberikan pilihan pada Farah, dengan Lala yang melirik pada jam di tangan kirinya.
"Enggak. Kita tunggu selesai aja. Lagipula di pondok sudah ada Umi dan Azzam, yang bisa mengurus Rizal. Kita di sini fokus saja dulu, kita juga gak mungkin tinggalin Abi sendirian. Lokasi kita sangat jauh, menuju pondok." Farah memberikan jawaban yang pasti pada Lala, sehingga Lala kembali fokus pada pengajian kala itu, dengan Farah juga mencoba kembali menenangkan isi pikirannya.
***"Bro! Gimana kalo kita ubah nama geng motor ini?" Sam tiba-tiba saja menanyakan hal konyol itu pada Farzan, ketika mereka tengah asyik bermain billiar di rumah Sam.
"Lo gila, atau gimana, sih?! Kalo Sava tau, lo, ubah nama geng motor itu, emangnya lo mau, langsung di depak dari sana?" Farzan menghisap rokok yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengah, tangan kirinya. Ia semburkan asap rokok yang ia hisap tadi, sehingga membuat penuh satu ruangan itu oleh asap rokok yang beterbangan.
"Lagian, Sava gak bakal bisa bertindak apa-apa! Cewek kayak dia, bisa apa, sih? Palingan juga cuma bisa sembunyi di punggung Rival! Belum lagi, tuh pacarnya udah mati kedinginan!" Setelahnya, suara gelak tawa dari Sam terdengar dengan menggema. Sementara, Farzan hanya menggelengkan kepalanya saja, melihat tingkah sahabatnya itu.
"Lo yakin? Tapi setau gue, perusahaan bokapnya Sava ada kerja sama, sama perusahaan bokap lo. Lo, gak inget, atau lo, ikutan bego kayak Rival, juga?" Sam yang mendengar kalimat terakhir dari Farzan, hanya bisa berdecih saja.
"Gue? Bego? Rival aja, bisa gue singkirin cuma dalam waktu satu malam!" Sam membuang puntung rokoknya ke sembarang arah, saat sebelumnya ia matikan terlebih dahulu.
"Kita liat aja nanti!" Sam tersenyum meremehkan pada Sava, yang di mana orang yang mereka bicarakan saja tidak ada di sana.
"Jadi? Lo mau ubah nama geng motor jadi apa?" Farzan mencoba kembali menghidupkan suasana di antara mereka berdua.
Sam menatap ke arah Farzan, dengan raut wajahnya yang sulit diartikan. Sedangkan Farzan, ia hanya menaikkan salah satu alisnya saja, seolah-olah ia menanyakan apa maksud dari tatapan Sam padanya.
"Sagara." Satu kata yang keluar dari mulut Sam, setelah ia terus menatap dengan raut wajah seperti tadi pada Farzan.
"Sagara? Kayak nama kucing gue, di rumah itu, sih!" Farzan mengejek Sam, karena sahabatnya itu memberikan sebuah nama nyeleneh pada geng motor mereka.
"Emang nama kucing, lo, apa?" Sam yang dibuat jengkel oleh Farzan, menantang Farzan akan nama apa yang Farzan berikan pada kucing betina di rumahnya itu.
"Samsul."
"Anak anjing, lo!"
Sam yang tadi sudah merasa jengkel, semakin dibuat jengkel berkali-kali lipat lagi, setelah apa yang diucapkan oleh Farzan barusan.
Seolah tak terima, jika anak kucing betina berwarna abu-abu bercampur putih miliknya itu, dikatakan anak anjing. Farzan kembali membalas ucapan Sam.
"Gue punyanya, anak kucing, babi!"
Sam terdiam sejenak, sebelum ia mengeluarkan sebuah kalimat lagi. "Jadi, yang bener itu anak kucing, anak anjing, atau babi, sih?"
"Anak cupang!"
Habis sudah kesabaran Farzan, menghadapi orang hutan didepannya itu. Farzan sudah tak ingin kembali menguras kesabarannya, untuk Sam.
"Jadi, nambah lagi, sama anak cupang?"
"Bangsat! Anjing! Monyet! Babi! Udah, bego!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rival Zaroun [END]
Teen FictionRival Zaroun, pemimpin geng motor Brandon Axel yang harus kehilangan ingatannya, karena kecelakaan atas pengkhianatan dari salah satu sahabatnya sendiri. Tersesat dalam kepingan-kepingan ingatan yang harus ia susun kembali di Pondok Pesantren Ar-Rah...