"Ada apa, Umi, panggil saya?"
Kini, Rizal sudah ada di rumah Umi dan Abi. Entah apa, yang akan mereka bicarakan pada malam hari ini. Memang, sebelumnya Umi memanggil Rizal pada siang hari, namun, Umi mendadak ada pekerjaan yang harus ia kerjakan.
"Begini. Umi tidak ingin berbasa-basi lagi. Umi hanya ingin bertanya, apa Nak Rizal tertarik pada Farah?" Umi terlihat begitu serius menanyakan hal tersebut pada Rizal.
Rizal yang mendengar pertanyaan tersebut, ia hanya mampu menatap satu persatu, pada Umi dan Abi, tepat berada di hadapannya. Entah mengapa, perasaan Rizal tak bisa ia kontrol dengan tenang. Ia tak tahu, apa yang terjadi pada dirinya.
Terbesit dalam hati, Rizal tak yakin dengan perasaannya terharap Farah. Entah itu perasaan suka pada Farah, atau itu hanyalah perasaan rasa terima kasihnya pada Farah, karena telah menolongnya.
Jauh di dalam lubuk hati Rizal, ia merasa ada seseorang yang telah memenuhi isi hatinya. Mulutnya seakan terkunci, dirinya yang hendak berkata 'iya'. Raganya hanya mampu berdiam diri, tanpa adanya reaksi apapun yang terlihat pada dirinya. Rizal benar-benar tak mampu, untuk memberikan jawaban yang pasti pada pertanyaan yang diberikan oleh Umi.
"Gimana, Nak Rizal?" Kali ini, Abi yang bertanya, dan berhasil membuat Rizal kembali pada kesadarannya semula.
Rizal tersenyum, menatap satu persatu pada mereka berdua. "Rizal ... Rizal mau, Umi, Abi." Rizal menjawab dengan mantap pada mulutnya. Namun, entah jawaban apa yang tertulis di dalam hatinya.
Umi dan Abi, yang mendengar jawaban mantap dari Rizal, berkata syukur pada hatinya.
"Ya sudah. Ini sudah malam, lebih baik kamu tidur, ya?"
Rizal hanya mengangguk, kemudian pergi dari hadapan Umi dan Abi, menuju kamarnya yang memang telah di siapkan oleh Umi di rumah mereka.
***Kini, Sava telah selesai dengan makan malamnya. Makan malam yang telah di siapkan oleh Nicho. Ya! Lelaki yang sudah memasak di dapur apartemen Sava, adalah Nicho. Satu-satunya lelaki yang berada di samping Sava kali ini, hanya Nicho. Ibu dan Ayah Sava, mereka sibuk pada pekerjaannya masing-masing. Meski begitu, orang tua Sava tetap memberikan sedikit waktunya untuk mengunjungi Sava. Sava tetap di berikan kasih sayang, sehingga Sava dapat tumbuh menjadi pribadi yang penyayang juga, walaupun ia sangat pemilih pada orang-orang yang ada di sekitarnya.
"Jadi, apa rencana lo?" Sava to the point, bertanya pada apa yang akan ia dan Nicho bahas pada malam hari ini.
"Lo tau, siapa yang udah kirim pesan misterius itu ke gue?" Nicho menatap dengan serius, juga raut wajahnya yang sangat terlihat meyakinkan di mata Sava.
"Siapa?" Sava mengangkat salah satu alisnya. Ia benar-benar di buat penasaran, oleh makhluk hidup yang satu ini.
"Dia." Setelah merogoh ponsel yang ada di saku celananya, Nicho segera menunjukkan sebuah foto seorang lelaki yang terpampang jelas di sana.
Sava menerima ponsel Nicho, dengan perasaan penasarannya yang membuncah hebat. "Lah? Bangsat! Si Doggy ini, yang sok jadi orang misterius?!"
Nah! Sudah Nicho duga, bahwa Sava akan mengeluarkan kata-kata kebun binatangnya itu. Maka dari itu, Nicho dengan sengaja tidak memberitahukan kepada Sava secara langsung, nama dari pria yang telah memberinya pesan-pesan misterius tersebut.
Nicho duduk tepat pada sofa, yang berada di belakang Sava. Nicho melihat ke sekeliling ruangan tersebut, ruangan yang penuh dengan kenangan antara Sava dan Rival. Andai saja, Nicho bersama dengan Rival sewaktu ia kecelakaan, pasti hal ini takkan terjadi, juga dengan Sava yang takkan merasakan sakit hati pada dirinya. Itulah, rasa sesal yang teramat Nicho rasakan.
"Lo tenang aja, Va. Dia udah gue suruh buat terus mantau Rival di pondok itu!"
Lama tak mendengar respon Sava, Nicho kembali berdiri melihat apa yang terjadi pada Sava.
Nicho memegang pundak Sava, untuk kembali menyadarkan Sava dari lamunannya. "Lo, kenapa?" Sava dengan segera mengusap air matanya, yang sempat menetes dengan sendirinya.
Sava menggelengkan kepala, seolah berkata bahwa ia tak apa-apa. "Gue gak-papa, jadi gimana rencananya tadi?" Sava menatap ke arah Nicho, yang terlihat cemas menatap begitu dalam padanya.
"Lo lebih baik cuci muka dulu, terus tenangin diri lo. Gue tunggu lo di sini. Kalo udah tenang, baru lo balik lagi ke sini." Sava hanya mengangguk, kemudian pergi melenggang meninggalkan Nicho di ruangan tersebut.
"Val, liat Sava! Dia sebegitunya kangen sama lo! Gue bakal bantu sebisa gue, dan gue harap, lo di sana secepatnya pulih sama ingatan lo. Di sini, ada Sava yang setia nunggu lo." Nicho bermonolog dalam hatinya, menatap kepergian Sava yang seketika lenyap dari pandangannya, karena tertutupnya sebuah pintu.
Setelah tertutupnya pintu ruangan tersebut, Sava hanya diam berdiri tak bergerak sedikit pun. Ruangan yang di mana di dalamnya terdapat banyak sekali kenangan yang tersimpan dengan rapi. Kenangan antara Sava dengan Rival, sedari mereka kecil hingga dewasa kini. Awal dari pertemanan yang tak terduga, menjadi awal kisah mereka tercipta. Lembaran demi lembaran mereka lalui bersama, hingga kini, mereka harus membuka lembaran mereka dengan alur cerita yang berbeda dari sebelumnya.
Kisah mereka yang entah akan berakhir seperti apa nantinya, akan Sava biarkan seperti apa yang semestinya. Sava tak ingin memaksa akan kehendak Rival nantinya, akan bagaimana. Cukup, Sava sudah cukup menerima begitu banyak kisah bahagia yang diberikan oleh Rival padanya. Kini, ia hanya akan menerima, bagaimana ia akan menjalani kisah-kisah sepi, tanpa kehadiran Rival di dalam kisah hidupnya.
Sava melangkahkan kakinya menuju wastafel, ia mengulurkan tangan untuk menampung air-air yang terjatuh tepat pada telapak tangan Sava. Air itu menerpa kulit wajah Sava, yang membuat Sava merasakan dinginnya air pada malam hari. Ia dengan sengaja membasuh wajahnya berkali-kali, demi untuk menenangkan kembali pikirannya yang begitu kacau.
Entah mengapa, di setiap air itu menerpa wajahnya, bukan ketenangan yang ia dapatkan. Melainkan, kembalinya air mata yang sempat tertahan untuk keluar.
Sava menutup air keran pada wastafel tersebut. Kemudian, ia terduduk lemah dan merosot begitu saja, tak mampu ia menahan berat pada tubuhnya.
Sava menepuk-nepuk kedua pipinya, berharap agar kesadarannya kembali seperti semula. "Lo kenapa jadi lemah begini, sih, bego! Ayo, sadar!" Cukup keras, Sava menepuk pipinya. Bukan, ia bukan lagi menepuk, melainkan menampar.
Namun, entah mengapa ia merasa begitu sesak pada hatinya. Ia ikut menepuk-nepuk pada bagian dada atasnya, yang terasa begitu sesak, menyiksa dirinya. "Sakit! Gue kenapa tiba-tiba ngerasa sesak gini! Sebenarnya ada apa?! Kenapa?!"
Pecah sudah, tangis Sava yang ia bendung beberapa menit yang lalu. Ia benar-benar tak kuasa menahan rasa sesak di dadanya. Suara isak tangis yang semakin kuat terdengar, membuat Nicho pergi menghampiri Sava, dengan perasaannya yang begitu khawatir.
"Lo kenapa? Hah?!"
Melihat Nicho yang segera menghampirinya, Sava langsung menatap tepat pada manik mata Nicho. "Gue sakit, Ko! Gue gak tau kenapa, tiba-tiba sakit!"
Bukan, bukan hanya Sava yang sakit di sini. Nicho pun ikut merasakan sakit, akan sakit yang Sava rasakan. Betapa sesaknya kalimat yang keluar dari mulut Sava. Jelas, sangat jelas bahwa Sava sangat tersiksa akan rasa sakitnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rival Zaroun [END]
Teen FictionRival Zaroun, pemimpin geng motor Brandon Axel yang harus kehilangan ingatannya, karena kecelakaan atas pengkhianatan dari salah satu sahabatnya sendiri. Tersesat dalam kepingan-kepingan ingatan yang harus ia susun kembali di Pondok Pesantren Ar-Rah...