Keesokan harinya, baik Umi, Abi, Farah, dan Rizal. Mereka semua melakukan aktivitas seperti hari-hari sebelumnya. Dengan Umi yang masih memasak untuk sarapan pagi ini, Abi yang tengah membaca buku dengan ditemani oleh teh hangat, Farah yang masih bersiap-siap untuk pergi mengajar, juga dengan Rizal yang siap sedia membantu Umi di dapur.
Sekitar 30 menit berlalu, mereka semua telah selesai menyantap sarapan pagi mereka. Kemudian, Farah pamit pada Umi dan Abi, juga pada Rizal, untuk pergi mengajar.
Setelah kepergian Farah untuk mengajar, Abi pamit untuk pergi ke suatu tempat mengurus urusannya. Dan sekarang, tinggallah Umi dan Rizal di dalam rumah tersebut.
Kali ini Umi tengah mencuci piring di dapur. Rizal menghampiri Umi, dan terus berdiri menatap Umi yang sedang mencuci piring.
Umi melirik sekilas pada Rizal, yang tengah menatapnya itu. "Ada apa?" Umi berkata demikian, karena ia tahu bahwa Rizal ingin mengatakan sesuatu.
"Saya ingin pergi keluar Umi, ingin membeli sesuatu untuk Farah."
Umi menghentikan kegiatannya, kemudian menatap teduh pada Rizal, dengan senyumannya yang kian merekah. "Memangnya Nak Rizal, ingin membeli apa untuk Farah?"
"Something!" Rizal tersenyum pada Umi, untuk meyakinkan Umi bahwa dirinya benar-benar ingin membelikan sesuatu untuk Farah.
"Hm. Oke, Umi berikan izin. Tapi, sebelum Farah kembali, kamu sudah ada di pondok lagi, oke?" Mendengar Umi yang mengizinkan dirinya, bisa langsung memeluk Umi dan mengucapkan, 'terima kasih'.
Setelahnya Rizal langsung pergi keluar dari Pondok, dan pergi ke suatu tempat yang telah Ia ingat-ingat semalam.
Rizal pergi pada salah satu gedung apartemen yang cukup besar di ibukota. Dirinya langsung masuk ke dalam lift dan tombol angka yang tertera di sana.
Beberapa detik pintu lift kembali terbuka, kemudian Rizal melangkah dengan pasti keluar dari dalam lift tersebut. Sebuah lorong yang cukup besar tepat berada di depannya, ia kembali melangkahkan kakinya, menuju pintu apartemen 182 yang ada di lorong tersebut.
Dirinya kembali memencet tombol angka-angka, yang ada di dekat gagang pintu apartemen tersebut. Setelahnya, pintu itu pun terbuka, dan ia langsung masuk ke dalam apartemen itu.
***Di pagi hari yang cerah ini, Sava terbangun dari tidurnya. Dirinya meregangkan otot-otot yang kaku, karena tidur semalam yang cukup panjang. Dengan langkahnya yang gontai, Sava pergi ke dalam kamar mandi, untuk membersihkan tubuhnya.
Sekitar 20 menit Sava menyelesaikan ritual mandi paginya. Sava segera membuat nasi goreng ala resep dirinya sendiri, kemudian ia mengambil sebuah gelas, yang ia isi dengan air putih di dalamnya.
Sava telah selesai membuat sarapan paginya, dan membawa makanan tersebut ke atas meja makan. Yang menunjukkan dirinya pada kursi yang ada di sana, dan langsung menyantap nasi goreng buatannya sendiri dengan lahap.
Baru saja, Sava menyelesaikan suapan terakhir dari nasi goreng tersebut, seseorang tiba-tiba saja masuk ke dalam apartemennya, dengan membawa beberapa cemilan dalam kantung plastik, di kedua tangannya dengan cukup penuh.
"Sava, hari ini gue bawa seseorang." Dan ternyata, orang yang masuk ke dalam apartemen Sava, yang tak lain dan tak bukan adalah Nicho.
"Siapa?" Sava bertanya akan siapa, seseorang yang telah di Nicho bawa masuk, ke dalam apartemennya tanpa izin terlebih dahulu kepada dirinya.
"Udah nanti dulu tanya itu, sekarang ambil cemilannya dulu, tangan gue sakit nih." Nicho menyodorkan dua kantong camilan yang ia bawa pada Sava, kemudian Sava menerimanya tanpa banyak lagi pertanyaan seperti sebelumnya.
Sava pergi lebih dulu, memasukkan beberapa cemilan-cemilan tadi pada kulkas, dan ada juga yang ia tata pada nampan, untuk dirinya dan Nicho makan.
Di belakang Sava, sudah ada Nicho yang juga sedang menaruh cemilan-cemilan yang ia bawa di atas meja makan. Dan seseorang yang Nicho bawa, ia duduk di sofa yang sudah dipersilahkan oleh Nicho untuk duduk.
Nicho lebih dulu pergi ke ruang tamu, untuk menemui tamunya itu. Kemudian, tak lama Nicho tiba, Sava datang dengan nampan yang ada di kedua tangannya, untuk ia sajikan.
Sava menatap pada pria yang Nicho bawa, ia begitu familiar pada wajah pria tersebut. Sava duduk di samping Nicho, yang masih dengan tampang wajah keheranannya.
Nicho yang melihat ekspresi wajah Sava, hanya bisa menahan tawanya. Ekspresi itu benar-benar sangat lucu baginya. "Dia Zicho."
Dua kata terucap dari mulut Nicho, dan di detik berikutnya. "Ooohh, Zicho! Hallo, apa kabar, Zicho! Ini Nicho, dan ini Zicho!" Sava menunjuk secara bergantian, pada Nicho dan Zicho.
"Wajar, cowoknya lagi di tahan di pondok, jadinya agak kumat dikit." Zicho hanya tersenyum kikuk, mendengar kalimat konyol dari Nicho.
"Di makan aja cemilannya, santai aja sama kita, sih." Nicho mempersilahkan Zicho untuk memakan makanan yang sudah Sava sajikan.
Zicho lantas mengambil salah satu kue yang ada di piring di sana, tangannya terulur dan hendak memasukan kue itu pada mulutnya. Namun, pintu apartemen Sava tiba-tiba saja berbunyi, yang tandanya pintu tersebut dibuka oleh seseorang.
Sava dan Nicho hanya saling pandang, keduanya benar-benar hanya bisa terdiam mematung. Beberapa dengan Sava dan Nicho, Zicho justru santai memakan kue yang ada di tangannya itu, karena ia pikir yang masuk pasti salah satu kerabat Sava dan Nicho.
"Sava?"
Mendengar suara yang familiar, Zicho lantas mengalihkan perhatiannya. Dan, betapa terkejutnya ia, melihat sosok yang sangat ia kenal, yang telah memberikan jasa besar pada keluarganya.
"Rival?" Sava benar-benar merasa bahwa dirinya tengah bermimpi. Berkali-kali ia mencubit tangannya sendiri, memastikan bahwa ini bukanlah mimpi di siang bolongnya.
Nicho lantas langsung menatap ke arah Sava, dirinya yang melihat Sava mencubit tangannya sendiri, kembali lagi dan lagi Nicho menahan tawanya. "Bukan mimpi!"
Celetukan dari Nicho, kembali membuat Sava tersadar. Dirinya menatap ke arah Nicho, yang di mana Nicho sendiri tengah menatap pada Sava. "Beneran, gak mimpi, 'kan?"
Nicho yang geram karena pertanyaan aneh dari Sava pun, mengulurkan tangannya untuk menyentil dahi Sava. "Sakit?" tanya Nicho.
Sava mengangguk, dengan menunjukkan deretan giginya, tersenyum layaknya kuda. "Sakit, hehe." Sava mengusap-usap dahinya, yang tadi terkena sentilan maut dari Nicho.
Rival yang menatap Sava dari kejauhan hanya tersenyum, gadisnya tetap sama seperti dulu, dirinya tak berubah walau sedikitpun. "Maaf." Satu kata yang kembali terucap pada Rival.
Sava kembali mengalihkan perhatiannya pada Rival. "Maaf? Buat apa?"
"Buat semuanya." Rival segera menghampiri Sava, kemudian ia memeluk Sava dengan perasaannya yang begitu bahagia.
Entah, seberapa besar rindu yang sudah Rival tahan, dan entah sudah berapa banyak usaha Rival untuk menyusun kembali kepingan-kepingan dari ingatannya itu, untuk kembali mengingat Sava. Kali ini, Rival hanya ingin menyalurkan segala bentuk rindu, cinta, dan lelahnya dalam satu waktu, dan satu pelukan dari Sava yang membuatnya kembali mengurangi rasa tertahannya itu.
"Mau sampe kapan pelukannya? Sampe lebaran monyet?" Nicho dan Zicho, yang melihat keduanya yang tengah melepas rindu pun, memisahkan keduanya.
Akhirnya, setelah ditegur oleh Nicho, Sava dan Rival melepaskan pelukannya. Semuanya kembali duduk pada sofa.
"Bay the way, lo sewaktu sebelum kecelakaan emangnya ngapain? Kok bisa, para polisi ngejar kalian, malam itu? Emangnya, lo ada salah apa?" Nicho bertanya, mewakili pertanyaan dari Sava.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rival Zaroun [END]
Teen FictionRival Zaroun, pemimpin geng motor Brandon Axel yang harus kehilangan ingatannya, karena kecelakaan atas pengkhianatan dari salah satu sahabatnya sendiri. Tersesat dalam kepingan-kepingan ingatan yang harus ia susun kembali di Pondok Pesantren Ar-Rah...