.
.
.
.
."Kalian si-siapa? Pe-permisi, aku mau lewat," ucap Jade yang mencoba melewati tiga pria yang berdiri menghadangnya.
Pria yang paling tinggi dan berdiri di tengah ini mendekat dengan langkah mengintimidasi. Dia tersenyum sinis.
"Kau tak bisa bahasa kami? Kenapa pakai bahasa Inggris? Aksenmu bagus. Kau orang asing mana?"
Jade menunduk, memandang sepasang kaki yang ada di depannya, sembari meremas ponsel di tangan kanannya dengan cemas.
"Orang asing? Apa dia banyak uang?" tanya pria berjaket hitam di sebelah kanan, depan Jade.
"Kita bisa karaokean bareng. Kau harus mau," sahut pria berkaos hitam sebelah kiri, depan Jade.
"Ma-maaf." Jade terbata.
"Nah, dia hanya bisa bilang maaf dalam bahasa kita," cepat pria yang berada di tengah dengan tawa setelahnya.
Pria di kanan segera mengambil paksa topi, lalu melepas paksa pula masker yang dipakai Jade.
"Wow, orang asing yang tampan!" spontan pria yang berdiri di tengah bernama Nam.
"Maaf, aku harus pergi." Jade mencoba mengambil topinya, tapi sayangnya Nam sengaja menjauhkannya.
"Ayolah, kau pikir aku mengerti bahasa Inggrismu itu?" Nam bermuka mengejek.
"Sing, sing. Kita nyanyi bareng, oke?" ucap Jo, yang berdiri di kanan dengan menggunakan bahasa Inggris kali ini.
"Tunggu dulu. Apa dia idol asing? Sekarang banyak trainee asing di sini." Han, yang berdiri di kiri menghentikan lengan Nam yang meninggikan topi Jade.
"Mana mungkin?" Nam menggeleng kepala sebelum menoleh ke Jade. "Kau idol?" tambahnya dalam bahasa Inggris.
Jade berhenti, dia bingung dan bermuka cemas.
"Geledah dia, ambil dompetnya. Terlalu resiko kalau kita ambil hapenya," perintah Nam pada Jo dan Han.
Jo dan Han segera memaksa menggeledah setiap saku celana Jade. Tapi hasilnya nihil.
"Sepatunya mahal, ambil aja," perintah Nam. "Aku juga mau jaket mahal yang dia pakai itu."
Jade meronta saat dua pria ini mencoba melucuti sepatu dan jaketnya.
"Aku akan melaporkan kalian semua," ucap Jade setelah dia kehilangan jaket dan sepatu dari tubuhnya.
"Area ini gak ada CCTV, abisin dia dan hapenya," perintah Nam.
Nam dengan santainya mulai melangkah menjauh.
"Jangan pergi! Kembalikan sepatu dan jaketku!" lantang Jade tapi malah mendapat bogem dan renyah tawa dari Jo.
"Kami gak ngerti bahasamu!" ucap Jo setelahnya.
Jade terbatuk, napasnya terengah. Setengah ragu dia tinggikan alis saat tubuhnya terangkat, dan dari arah belakang bahu kanannya digebuk menggunakan kursi belajar bekas yang semula berada di dekat tempat sampah tak jauh dari tempat ini.
Jade seketika terhuyung, dia mengerang kesakitan dan memegangi bahu kanannya.
Tak sampai di situ, Han kembali memaksa Jade berdiri dan hendak daratkan bogem, tapi gerakannya segera berhenti saat mendengar suara teriakan untuk menghentikan kelakuannya.
"Kalian sudah gila?!" lantang suara ini sembari berlari mendekat.
Tapi dalam sedetik, Jade berhasil mendapat bogem hingga sempurna tersungkur di aspal. Kaki Han sudah bersiap untuk menyentuh tubuh Jade.
"Siapa kau?" Nam melirik Hwan yang berlari ke arah Jade.
Hwan berhasil hentikan kaki Han yang hendak mengenai tubuh Jade.
"Siapa kalian?" dingin Hwan bermata tajam.
"Kau! Kenapa pakai masker? Apa kau anggota mafia? Gengster?" tanya Jo efek dari melihat Hwan yang hanya mengenakan kaos tanpa lengan, memakai jas tak formal, bertopi dan masker hitam.
Hwan merangkul Jade. "Kau tak apa-apa?"
"Kau punya uang?" tanya Jo pada Hwan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Xavian
Teen FictionJade salah satu diantara orang yang memiliki mimpi itu. Berjuang dan terbang, berusaha untuk menaklukan batas kemampuan dirinya. Saat mimpi itu malah dipertemukan dengan hal kotor yang dilakukan tukang bully, mampukah Jade terus memperjuangkan mimpi...