19.

15 4 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.

"Jade, coba nyanyikan bagianmu," ucap Luce saat ketiganya berkumpul di depan ruang rekaman.

Sedikit gugup Jade mulai melantunkan lagu itu.

Mata Ryusei tak henti menatap Jade salut, sedang Luce mendengarkan dengan seksama, memastikan Jade tak salah lirik.

"Suaramu unik, Jade. Pertahankan dan kembangkan. Lidahmu memang harus sering berlatih, ada salah pengucapan kata di kalimat akhir," ucap Luce mencoba cairkan ketegangan di wajah Jade. "Kau tinggal memperbaiki wajah tegangmu itu."

Jade mengangguk tegang. "Te-te-terima kasih, Luce."

"Jade, dia Luce, bukan guru vokal kita," gugah Ryusei dalam bahasa Inggris, lalu tertawa.

Luce sedikit melirik kesal Ryusei. "Giliranmu, Ryu."

"Ah, lewati saja. Aku hapal liriknya. Lagi pula, sebelum rekaman kita akan latihan dan diskusi akhir bersama guru vokal kita. Jadi, saat ini bukan suatu keharusan, kan?"

Ryusei berwajah tengil, sedang Luce hanya menggeleng kepala.

"Apa begini atittude mantan trainee di perusahaan besar?" dingin Luce yang mampu merubah mimik wajah Ryusei.

"Kenapa memang?"

Luce menatap tajam. "Aku memang bukan guru vokal, juga bukan Kak Hoshi. Tapi sebagai leader groub, aku pantas melakukan hal ini untuk meyakinkan, bahwa kita sudah bersiap matang dan lakukan dengan sempurna. Latihan mandiri itu penting untuk menunjang semuanya, mempercepat proses belajar saat bersama anggota lainnya. Apa aku salah?"

Ryusei hanya diam mematung dengan tatapan mengartikan. "Bisa dalam bahasa Inggris?"

"Kau harus segera tau artinya, Ryu. Kau paling lama diantara anggota yang akan didebutkan. Bukankah seharusnya saat ini, kau sudah fasih dan mengerti benar semua ucapanku?"

Melihat tatapan Luce, membuat Ryusei membuang muka pasrah, seolah benar-benar kalah.

"Kedepannya, tolong jaga atittude itu demi nama baik semua anggota groub kita, bukan hanya nama baikmu saja. Persiapkan mental, kepercayaan diri, kualitas, bakat dan atittude kalian saat bersama groub lain. Semua tanggung jawab itu ada di bahu tiap anggota, sejak awal kita berlatih dan akan didebutkan di perusahaan ini. Sebagai leader, aku sudah melakukan semuanya semampuku dan sesempurna mungkin. Sekarang, semuanya ada di tangan tiap anggota, kemana dan akan jadi apa groub kita nanti."

Ryusei merasa sedikit sesak. Dia membuang muka saat teringat sosok ayahnya saat Ryusei duduk di bangku sekolah dasar. Ucapan ini, memiliki inti dan tujuan yang sama seperti saat Ryusei kecil mencoba meraih mimpinya di bidang sepak bola.

"Ayah," gumam Ryusei terlalu pelan, dalam bahasa ibunya yang tak dimengerti Jade dan Luce.

Selama ini, Ryusei tak mau titik lemahnya diketahui anggota lain. Dia tak mau terlihat lemah dan menyedihkan. Titik lemah itu, terjadi sebelum dia memutuskan menjadi trainee.

Ryusei membuang muka sejenak, mencoba netralkan perasaannya. Bayang senyum ayahnya kini terlintas. Pria yang sudah meninggalkannya dengan menyematkan kalimat sebelum meninggal, "gapailah mimpimu. Apa pun itu, jika memang bola tak bisa membawa mimpimu, pasti ada jalan yang lain. Papa titip adik dan mamamu."

Ryusei hendak menyeka air mata, saat suara Luce terdengar menambahi ucapannya.

"Buktikan bahwa kalian berdua memang pantas dan berkualitas. Dan ini, adalah salah satunya. Aku sudah melakukan tugasku diluar tugas mandiri anggota groub seperti kalian. Sebagai leader, aku sudah mencoba untuk carikan cara supaya banyak yang tahu bakat, suara, wajah tampan, dan kualitas kita hingga pantas segera mendapat dukungan saat debut nanti. Jadi, jangan anggap remeh latihan kapan pun dan sekecil apa pun itu. Ada yang kurang jelas di sini?"

Ryusei kembali menatap wajah Luce. Tatapan itu seolah mengartikan, ada lidah ayahnya di ucapan Luce hari ini. "Aku mengerti, maafkan aku."

"Bagus. Artikan semuanya untuk Jade, lalu coba nyanyikan bagianmu," cepat Luce yang sudah menurunkan ketajaman matanya.

Ryusei melirik Jade sejenak sebelum nyanyikan bagiannya.

"Kau salah nada. Ulangi," perintah Luce ditengah mendengar Ryusei bernyanyi, yang bahkan belum selesai pada bait ke tiga.

"Ulangi," perintah Luce lagi dengan wajah dingin dan datar bagai pelatih vokal.

"Bagus. Kalian berdua tau kekurangan kalian apa? Mari gunakan kritikan ini untuk kesempurnaan saat bersama guru vokal nanti. Jade, jangan gugup karena nadamu bisa goyah dan lirik bisa salah. Dan Ryu, kau bermasalah dengan napas dan tenaga di akhir kalimat. Pikirkan bagaimana caranya hemat tenaga dan napas sampai akhir kalimat. Bukankah itu PR mu dari minggu lalu dari guru vokal kita?"

Ryusei mengangguk setelah ucapan Luce selesai. Lalu bicara pada Jade, bahwa kekurangannya hanya gugup saja.

Luce melihat ponselnya sejenak, saat menerima pesan singkat bahwa guru vokal sudah sampai.

"Apa rencana kalian berdua setelah kita selesai di tempat ini?" tanya Luce setelah memasukan benda pipihnya.

Jade dan Ryusei saling pandang sejenak.

"Kurangi main game untuk kesehatan mata kalian. Berapa kali harus kubilang? Ayo makan daging sapi, aku yang traktir. Kau juga bisa makan kan, Jade?"

Jade mengangguk cepat. "Bisa. Ma-ma-makasih, Luce."

"Kau serius mau traktir kami makan?" Ryusei ingin meyakinkan diri sendiri, bahwa perkataan Luce yang tadi itu benar.

"Memang ada yang salah? Kita bertiga tak pernah makan bersama. Bagaimana kalau kita pikirkan untuk membuat dance challance? Jade, apa yang saat ini sedang viral? Kita bisa membuat vidionya beberapa hari setelah pengambilan vidio untuk cover lagu ini. Bagaimana, kalian berdua setuju?"

Luce tersenyum kali ini, yang membuat Ryusei menoleh dengan tatapan aneh ke Jade sebelum keduanya kompak mengangguk pelan.

"Bukankah ini sogokan namanya?" gumam Ryusei pada dirinya sendiri. "Benar-benar seperti ayahku, kelakuanmu, Luce."

"Jade, Ryu, baiknya kita ambil foto sebelum guru vokal kita datang."  Luce mengoperasikan benda pipihnya.

"Jangan canggung, kita harus segera lebih dekat dari kerabat terdekat. Kau setuju?" tambah Luce sebelum merapatkan tubuhnya pada Jade dan Ryusei.

"Se-setuju," spontan Jade.

"Asal sering-sering traktir," cepat Ryusei dengan senyuman.

"Bisa diatur. Rasanya begini rupanya menjadi seorang ayah yang punya tanggung jawab pada anaknya. Maka ingatlah hal ini. Jika aku traktir kalian makan, maka itu bentuk apresiasiku pada kalian, pada anggota. Mulut dan sikapku memang kaku, kadang ketus, dan tak bisa basa basi. Bentuk apresiasiku dengan begini, bukan ucapan selamat. Inilah gayaku."

"Kau memang benar-benar bagai seorang ayah," cepat Ryusei dengan mata berkaca dalam bahasa Inggris.

Ryusei segera menoleh ke Jade, mengartikan seluruh ucapan Luce. Hingga membuat Jade berkaca, sedetik kemudian air matanya tergelincir.

"Ak-ak-aku sebenarnya selalu mengingat ayahku saat kamu memarahiku, Luce. Ah bukan, bukan kamu marahi, tapi kamu motivasiku. Seperti itulah gaya seorang ayah mendidik anaknya supaya tak manja. Itu kata ayahku dulu. Bolehkah aku memelukmu?" Jade bersuara goyah.

Luce mengangguk, di mana setelahnya Jade memeluknya erat dan tersedu memanggili ayahnya.

Diikuti Ryusei yang memeluk mereka dan mengusap punggung Jade, mencoba menenangkan Jade meski Ryusei sendiri bersuara goyah, yang juga teringat ayahnya. Matanya hampir saja menangis saat ini.

"Kau bisa menelponnya, Jade. Setelah pulang dari tempat ini," ucap Luce.

"Ayahku sudah meninggal, Luce," goyah Jade tersedu, yang membuat Ryusei akhirnya ikut menangis.

***

XavianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang