.
.
.
.
."Maaf," pelan Jade.
"Buat?" cepat Dayton.
"Semuanya," spontan Jade.
"Sudahlah. Aku malah iri, Ryu bisa secepat itu peduli pada keadaan sesama anggota," ucap Dayton yang kini menyalakan aplikasi, lalu menoleh ke Jade yang menunggu dengan tatapan ingin segera mengerti arti ucapan itu.
"Ah ... Bisakah kita juga segera sedekat itu, Jade?"
Setelah Jade tahu arti ucapan Dayton, pria ini mengangguk spontan.
"Tentu saja, Dayton. Kamu orang pertama yang dulunya berbagi ruangan denganku sebelum aku bersama Ryu."
Setelah tahu artinya, Dayton tersenyum tipis. "Maaf, aku tak bisa tidur nyenyak kalau teman sekamarku bersuara."
Jade tertawa. "Harusnya aku yang minta maaf karena kelakuanku yang menganggumu beristirahat."
Senyum Jade tetiba saja memudar, dia mengarahkan tubuhnya menghadap pintu ruang latihan ini.
"Bagaimana dengan bahumu?" tanya Dayton. "Kalau saja hari ini Ryu tau kau di sini bersamaku, dia pasti marah."
"Bahu? Ah, bahu? Bahuku baik-baik saja. Ryu hanya membesar-besarkan masalah."
"Ah," spontan Dayton sembari mencoba mengartikan ucapan Jade yang berbahasa Inggris.
"Dayton, aku gugup sekarang. Pikiranku campur aduk. Apakah aku pantas berdiri dan debut bersama kalian? Aku tau, aku tertinggal jauh dan masih belum pantas debut secepatnya. Apa yang harus kulakukan? Aku kesulitan memahami bahasa kalian, kesulitan adaptasi di sini, kesulitan belajar cepat dan menghapal. Apakah aku pantas?"
Dayton menoleh setelah aplikasi mengartikan ucapan Jade. "Tak ada satu hal pun yang mudah di sini, Jade. Kau sudah sejauh ini, itu pantas diapresiasi. Kau hanya butuh terbiasa."
Jade menoleh dengan senyuman usai suara aplikasi selesai mengartikan lagi.
"Terima kasih, Dayton. Aku tak menyangka, kamu seumuran adikku tapi cara berpikirmu jauh lebih dewasa dariku. Kamulah yang harus lebih mendapat apresiasi."
Dayton tersenyum mendengar artinya. "Ucapanmu mengingatkanku pada kakakku yang mendukung apa pun yang kulakukan dan apa pun kekuranganku. Dia pria sepertimu, Jade. Polos dan kekanak-kanakan."
Melihat mata Dayton mulai berkaca, membuat Jade simpati padanya setelah tahu artinya.
"Dia pasti pria hebat yang mempunyai adik yang sehebat kamu, Dayton. Bisakah, aku bertemu dengannya suatu saat nanti?"
Dayton tak menoleh, dia hanya menundukan kepala sejenak sebelum membuang muka, usai aplikasi kembali membuatnya mengerti arti ucapan Jade.
"Sepertinya itu tak akan mungkin terjadi," dingin Dayton.
"Ap-apa maksud ucapanmu? Aku tak mengerti artinya, Dayton."
Dayton menoleh ke Jade. "Sudahlah, lupakan saja."
Jade mengangguk pelan karena Dayton kali ini langsung mengucapkannya dalam bahasa Inggris.
"Bagaimana bisa kamu bertahan sekamar dengan Luce? Padahal dari yang kulihat, kalian saling melempar ucapan pedas."
Dayton menoleh. "Dia memang seperti itu, dan aku sudah terbiasa."
"Dayton, aku gugup."
"Kenapa lagi?"
"Besok, rekaman cover lagu. Aku takut membuat kesalahan dan sebabkan Luce marah."
Dayton tertawa. "Kau, kau takut Kak Luce sampai segitunya?"
Jade menoleh dengan wajah polos. Dia benar-benar takut pada Luce.
"Bagaimana kalau ekspresi wajahku salah saat pengambilan gambar dua hari lagi? Bagaimana kalau aku salah lirik karena gugup? Bagaimana kalau besok waktu akan kuhabiskan hanya untuk recording saja? Ah, Dayton, bagaimana ini?"
Melihat Jade yang kebingungan berwajah panik itu, malah membuat Dayton tertawa lantang. Karena wajah polos Jade yang lucu baginya.
"Apa kau juga berpikiri kalau kau bisa saja terkencing-kencing karena gugup?"
"Benar, bagaimana bisa kamu tau itu?" spontan Jade dalam bahasa yang bisa Dayton mengerti, dan itu membuat Dayton semakin terpingkal.
Pintu ruang latihan terbuka, dan tawa Dayton tercecer mulai dihentikan paksa melihat Cyan yang berjalan mendekati Jade dan Dayton dengan bibir meruncing.
"Jade, Dayton, kukira siapa yang selarut ini tertawa di ruang latihan."
"Kau datang? Syukurlah, aku tak perlu mengantar Jade," ucap Dayton yang segera berdiri.
"Mengantar Jade? Memang kenapa?" Cyan berwajah penasaran.
"Apa kau takut hantu?" lirih Dayton menatap lekat Cyan, lalu berganti ke Jade yang kini berdiri.
"Apa katanya, Cyan?" spontan Jade.
Cyan menoleh ke Jade. "Apa kau takut hantu?" ulang Cyan dalam bahasa Inggris.
Seketika itu Jade memeluk tubuh Cyan dengan spontan.
"Ap-ap-apa di sini ada hantu?" takut Jade.
"Pria berwajah dingin, dan cewe berambut panjang ...." ucapan Dayton menggantung tapi sudah berhasil membuat Cyan dan Jade lari terbirit tinggalkan tempat ini.
Dayton tertawa melihatnya. "Awas terkencing," lantangnya.
Dayton mengacak rambutnya asal. "Kenapa takut sama hantu? Dia hanya butuh diakui kehadirannya. Padahal hantu tak bisa membunuh manusia. Kenapa pada takut hantu?"
Dayton matikan saklar lampu sebelum keluar dari ruangan ini. Dan abaikan sosok wanita yang kali ini lagi-lagi tertangkap di mata Dayton
Cyan melihatnya dalam ingatan yang Dayton ingat saat mengatakannya tadi. Padahal Dayton malah tak menganggap keberadaan makhluk itu sebagai ancaman untuknya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Xavian
Teen FictionJade salah satu diantara orang yang memiliki mimpi itu. Berjuang dan terbang, berusaha untuk menaklukan batas kemampuan dirinya. Saat mimpi itu malah dipertemukan dengan hal kotor yang dilakukan tukang bully, mampukah Jade terus memperjuangkan mimpi...