1

463 38 7
                                    

"Kamu kan yang paling sehat, seharusnya kamu bisa jaga diri kamu dengan baik."

Omelan itu masih sama terdengar, tanpa ada rasa kasih sayang. Terkesan datar.

"Tapi, Bu. Felix juga butuh kalian." Felix menjawab dengan kepala tertunduk. Tidak berani mengangkat wajah, karena ia tahu apa yang akan didapat setelah perkataannya terlontar.

"Jangan banyak tingkah, Jisung lebih butuh Ibu. Kamu seharusnya mengerti sebagai yang lebih sehat, Jisung tidak sekuat kamu, ia terlalu lemah untuk dibiarkan sendiri."

Nada bicara sang ibu meninggi, membuat Felix mengkerut takut.

"Hanya sebentar, Bu. Setelah mengambil hasil ujian, Ibu bisa segera pergi, Felix mengerti kalau Jisung butuh Ibu."

Sebagai yang lebih sehat, Felix mengalah. Ia membiarkan dirinya tumbuh dengan kasih sayang yang kurang dari keluarga.

Ayah dan ibunya lebih fokus pada pengobatan Jisung, saudara kembarnya yang lagi dan lagi harus di rawat di rumah sakit.

"Biar Kakak saja yang ambil," kata Bangchan dari meja lain. Keduanya memang tengah sarapan, sementara ibunya sedang sibuk menyiapkan makanan untuk di bawa ke rumah sakit. Untuk Jisung, yang meminta ibunya memasakkan makanan rumah.

Felix menghela napas pelan, jujur ia ingin sekali merasakan orangtuanya hadir dalam acara sekolah. Mendukungnya, untuk sekedar memberi semangat. Karena lagi dan lagi, ia menjadi murid berprestasi.

"Ibu tidak bisa, Jisung lebih penting dari segalanya. Hal-hal yang kamu pinta itu hanya masalah sepeleh, kamu dapat melakukannya sendiri."

Felix hanya bisa pasrah, merelakan kkepergian sang ibu. Yang bahkan tidak pernah mengelus kepalanya sepanjang ia hidup.

Bangchan yang melihat sang adik bersedih, memilih berpindah tempat. Mengelus puncak kepala Felix dengan sebuah senyuman penguat.

"Ada Kakak di sampingmu, kamu tidak perlu merasa kesepian."

Ya, selama ini hanya Bangchan yang peduli padanya. Hanya saja, Bangchan yang sudah memulai kuliahnya mulai sibuk, terkadang tidak memiliki waktu banyak untuknya.

Felix mengangguk kecil, walaupun hatinya sakit. Felix tidak mau Bangchan memikirkan dirinya secara berlebihan.

"Maaf, aku kekanakan."

Kembali usakan Felix dapatkan.

"Wajar kok, kamukan bayi paling kecil di keluarga kami."

Felix tersenyum lebar, ia menghambur dalam pelukan Bangchan. Sang Kakak yang selalu mampu menghibur, yang selalu menjadi tempat ternyaman untuk Felix melabuhkan semua perasaan yang dimilikinya.

Felix memang yang termuda di dalam keluarga, meskipun terlahir dengan jarak beberapa menit dengan Jisung. Jisung menjadi yang tertua.

"Makan dulu, nanti Kakak antar ke sekolah."

Felix menurut, ia hanya berharap kedua orangtuanya suatu saat nanti akan ada waktu untuknya. Tidak hanya fokus pada Jisung dan melupakan keberadaannya.

Semua bermula dari ramalan jahat yang ibunya dapatkan saat hamil dulu. Seorang peramal keliling, meramalkan bahwa pasangan suami istri itu akan sangat berjaya, di karuniai bayi perempuan kembar. Hanya saja dalam kejayaan itu, di antara si kembar hanya bisa satu yang hidup.

Awalnya keluarga tidak ada yang percaya, menganggap ramalan itu hanya bualan belaka. Namun, saat Jisung terlahir keluarga mulai ketakutan. Bahwasanya, Jisung mengidap kelainan jantung sejak bayi. Yang mana, membuat kedua orangtuanya lebih fokus pada pengobatan Jisung dan melupakan si kecil Felix.

*** 

"Ayah!" Felix berteriak dengan riang, masuk ke dalam rumah. Melihat mobil sang ayah yang terparkir di halaman, Felix berlari masuk dengan piala di tangan.

"Felix," balas sang Ayah. Tengah merapikan beberapa berkas yang perlu di bawa. Bukan ke kantor, melainkan ke rumah sakit.

"Lihat, Felix mendapat juara umum lagi." Felix menunjukkan piala dan piagam yang di dapatkannya di sekolah tadi. Meskipun orangtuanya berhalangan hadir, bersyukur ada Bangchan yang mewakili.

Senyumnya begitu cerah, berharap mendapat pujian dari sang ayah.

"Heem, kalau kamu dapat juara simpan dengan benar. Jangan kamu tunjukkan pada Jisung, dia akan sedih melihat keberhasilanmu itu."

Teguran dari sang ayah yang mampu melenyapkan wajah ceria Felix. Felix diam, menatap tidak percaya pada sang ayah.

"Felix kamu mendengar, Ayah?" tanya Tuan Lee sembari menoleh ke arah Felix yang sudah berkaca-kaca.

"Seharusnya, Ayah mengucapkan selamat padaku," lirih Felix dengan kekecewaan yang tampak.

Tuan Lee mendengus kecil melihat lelehan air mata Felix.

"Jangan melakukan hal yang tidak berguna Felix, kamu jangan bersikap senang-sennag. Sementara Kakak kembarmu tengah berjuang hidup di rumah sakit."

Jisung lagi.

Felix ingin menjerit tidak terima, kenapa selalu Jisung yang hanya mampu mengambil perhatian kedua orangtuanya. Tidak bisakah kedua orangtuanya itu fokus padanya sebentar, di saat Jisung sedang tidak ada bersama mereka.

Tuan Lee menatap dingin ke arah Felix, entah mengapa. Menatap Felix yang begitu sehat, ada perasaan benci pada putri bungsunya tersebut. Karena putrinya yang lain justru tengah bernasib sebaliknya.

"Kamu diam di rumah, jangan keluyuran keluar. Ingat Felix kesehatanmu saat ini, karena Jisung yang mengalah untuk sakit dari pada kamu."

Nyut!

Rasa perih di hati Felix tidak terbendung lagi. Bagaimana bisa, ayahnya berkata seperti itu. Membuat Felix curiga, apa ia sebenarnya bukan putri kandung dari Ayahnya. Sehingga, sikap Ayahnya seperti orangtua tiri.

Ultimul cadouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang