18

157 28 0
                                    

“Kenapa tidak pulang?” tanya Felix dengan suara pelan.

Baru saja tersadar setengah jam yang lalu, Felix tidak menyangka kalau Jeongin ada di sampingnya sepanjang waktu.

“Bagaimana bisa aku pulang, sementara pikiranku menetap padamu.”

Mata Jeongin memerah, bersyukur Felix bisa melewati masa kritis. Keadaan Felix semakin melemah, operasi yang semula dijadwalkan tiga Minggu lagi, terpaksa dipercepat satu Minggu.

“Aku baik, tenang saja aku tidak akan pergi secepat itu.” Bibir pucatnya tersenyum, kali ini senyum Felix tidak sedikitpun membuat jantung Jeongin berdebar. Sekarang, yang Jeongin rasakan lebih pada rasa takut, Jeongin takut kehilangan.

“Jangan menakutiku.”

Felix terkekeh kecil.

“Perawat mengantarkan makananmu, mau makan sekarang?”

“Bisakah aku tidak makan, aku tidak memiliki selera.”

Jeongin menggelengkan kepala.

“Tiga hari kamu tidak sadarkan diri, bagaimana mungkin tidak memiliki selera.”

“Aku serius.”

Jeongin menghela napas pelan.

“Meskipun tidak selera, kamu tetap harus makan. Supaya bisa sedikit memiliki tenaga.”

Melihat Jeongin yang sudah menyiapkan makanan untuknya, mana mungkin Felix menolak kebaikan pemuda itu.

“Baiklah,” jawabnya.

Jeongin membantu Felix meninggikan brankar, supaya Felix lebih nyaman dengan posisi setengah duduk.

Meletakkan bantal di belakang punggung Felix.

“Terima kasih, Jeongin.”

“Kamu hanya harus sembuh, untuk membalas kebaikanku.”

Felix mengangguk dengan lemah, “Aku usahakan.”

Dengan telaten, Jeongin menyuapi Felix makan. Walaupun, berulang kali Felix menolak. Setelah menghabiskan setengah bubur dalam mangkok, Felix tidak tahan lagi.

“Aku mual.”

“Butuh kantong kresek?”

Felix menggelengkan kepala.

“Minum air hangat saja.”

Jeongin melakukannya, untunglah fasilitas air hangat sudah ada di dalam rumah sakit. Jeongin selalu menyiapkannya dalam termos kecil, berjaga-jaga kalau Felix membutuhkannya nanti.

“Segeralah minum.”

Felix menerimanya, meneguk perlahan hingga rasa mual sedikit berkurang.

“Bagaimana dengan dokumen keluarga yang aku minta?”

“Kamu tenang saja, semua sudah selesai.”

Felix mengangguk, walaupun hatinya terasa hancur. Memisahkan diri dari dokumen keluarga tentu saja hal yang paling menyakitkan dalam hidup seorang anak. Apalagi, ia yang begitu mencintai keluarganya. Hanya saja, jika tidak begini perawatannya akan tertunda. Orangtuanya terlalu fokus dalam pengobatan Jisung.

“Hari ini, aku harus masuk sekolah. Kamu tidak masalahkan kutinggal sebentar.”

“Pergilah I.N, aku akan baik-baik saja disini.”

Jeongin duduk kembali di sisi Brankar, meraih tangan Felix dengan lembut.

“Jangan pedulikan orang yang menyakitimu, ada aku yang akan peduli padamu selamanya.”

Ultimul cadouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang